BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Aedy (2009) mengatakan bahwa pendidikan adalah sebuah
proses yang melibatkan banyak sumber daya, baik sumber daya manusia, sumber
dana maupun sumber daya sarana dan prasarana. Setiap sumber daya tersebut
melibatkan banyak variabel dan setiap variabel masih melibatkan banyak unsur pula.
Tujuan
pembelajaran yang dilakukan di sekolah secara umum adalah untuk mentransfer
ilmu dalam bentuk pengetahuan, sikap, maupun keterampilan kepada siswa melalui berbagai proses.
Proses pembelajaran yang dilakukan dengan berbagai model untuk mencapai
tujuan tersebut tidak selalu cocok pada semua siswa. Penyebabnya bisa saja
karena latar belakang pendidikan siswa, kebiasaan belajar, motivasi, minat, sarana,
lingkungan belajar, model pembelajaran, dan sebagainya.
Dalam
menelaah peningkatan mutu pendidikan ada salah satu pendekatan yang harus
dilalui dengan sukses, yaitu pendekatan substansial pendidikan (content approach). Pendekatan ini berkaitan
langsung dengan mutu pendidikan dan tingkah
laku yang harus dimiliki oleh siswa, karena proses belajar mengajar ditentukan
dengan orientasi pendidikan yang tidak didominasi oleh guru (teacher centered), melainkan didominasi
oleh siswa (student centered). Dengan demikian diharapkan prestasi siswa akan menjadi asli atau
tidak artifisial belaka. Prestasi yang diperoleh siswa hendaknya dari proses
pembelajaran maupun belajar dan tidak hanya melalui transfer infomasi begitu
saja.
Pembelajaran
merupakan proses interaksi baik antara guru dengan siswa,
siswa dengan siswa, maupun siswa dengan lingkungannya yang dapat merangsang
siswa untuk belajar. Melalui proses interaksi, kemampuan siswa akan berkembang
baik mental maupun intelektualnya (Sanjaya, 2008: 133).
Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah berbasis kelas, kegiatan
pembelajaran merupakan kegiatan yang paling pokok. Keberhasilan pencapaian
tujuan pendidikan terutama ditentukan oleh proses pembelajaran yang dialami
siswa. Siswa yang belajar akan mengalami perubahan baik dalam pengetahuan,
pemahaman, ketrampilan, nilai, dan sikap.
Menurut Slameto (2010: 54), pembelajaran
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal merupakan faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu
contohnya niat, motivasi berprestasi, sikap, motivasi belajar. Sedangkan
faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri individu salah
satu contohnya, yaitu model pembelajaran.
Berdasarkan
hasil wawancara terhadap guru mata pelajaran dasar dan pengukuran
listrik pada tanggal 18
Februari 2014 di Sekolah Menengah Keujuruan Negeri 7 Surabaya atau selanjutnya disingkat SMK Negeri 7
Surabaya. Model pembelajaran
yang sering digunakan
oleh guru mata pelajaran dasar dan pengukuran listrik ketika mengajar di kelas adalah model pembelajaran konvensional. Adapun model
pembelajaran konvensional tersebut menggunakan metode ceramah dan mencatat
sehingga siswa kurang aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Pembelajaran
konvensional terpusat pada guru sehingga menyebabkan siswa cenderung selalu
menunggu pengetahuan datang dari guru. Siswa yang diajar pun akan cepat
mengalami kebosanan, mengingat dasar dan pengukuran listrik merupakan mata
pelajaran produktif yang memiliki jumlah 10 jam pelajaran dalam satu minggu.
Berdasarkan hasil wawancara pula, hasil belajar siswa belum menunjukkan
peningkatan dari nilai ulangan siswa sebelum remedial pada mata pelajaran dasar dan pengukuran listrik. Nilai hasil belajar
siswa yang telah tuntas masih mencapai 65% dari seluruh siswa kelas X TIPTL yang berjumlah 98 siswa dan terbagi
menjadi tiga kelas
dengan nilai Kriteria Kelulusan Minimum (KKM) > 76. Didasarkan hal tersebut, ada beberapa hal yang menjadi faktor yang belum
bisa menunjang hasil belajar siswa secara maksimal. Mengingat kondisi tersebut
dan semakin majunya ilmu pengetahuan, maka dalam proses pembelajaran haruslah menngunakan model pembelajaran yang dapat
menarik respon siswa dan membantu guru dalam menjelaskan materi pembelajaran.
Melihat
kondisi tersebut,
tentunya akan menimbulkan masalah pada saat proses pembelajaran pada mata pelajaran dasar dan
pengukuran listrik.
Masalah muncul diantaranya: (1) kurang efektifnya proses pembelajaran, (2)
kurangnya perhatian pada saat proses pembelajaran, (3) kurangnya keaktifan
siswa pada saat mengikuti pembelajaran sehingga ketika diberi kesempatan untuk
bertanya hanya sedikit siswa yang melakukannya, (4) proses pembelajaran yang sering di lakukan oleh
guru menggunakan model
satu arah, yaitu dengan menggunakan model pembelajaran langsung dengan
metode ceramah dan mencatat,
(5) karena waktu yang terbatas sehingga sulit untuk menyesuaikan penggunaan
model pembelajaran dengan tingkat motivasi beprestasi siswa yang beragam, dan
(6) pencapaian tujuan pembelajaran pada mata pelajaran mengaplikasikan rangkaian listrik belum sepenuhnya maksimal, hal ini
dapat dilihat dari nilai rata-rata siswa kelas X Teknik Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik (TIPTL).
Mata pelajaran dasar
dan pengukuran listrik merupakan materi hitungan dan praktik
pada Kurikulum 2013. Dengan melaksanakan belajar secara praktik, siswa dibimbing untuk
dapat terampil dan mempersiapkan bekal untuk menghadapi dunia kerja. Dalam
prosesnya siswa dituntut untuk mampu memahami mata pelajaran dasar dan pengukuran listrik.
Dari
uraian di atas, maka
untuk mengetahui
pengaruh model pembelajaran dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar siswa maka penulis melakukan
penelitian tentang “Pengaruh Model Pembelajaran terhadap Hasil Belajar Siswa Ditinjau
dari Motivasi Berprestasi pada Mata Pelajaran Dasar dan Pengukuran Listrik”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1.
Apakah
ada perbedaan hasil belajar siswa pada mata pelajaran dasar dan pengukuran
listrik yang dibelajarkan dengan model pembelajaran langsung dan model
pembelajaran kooperatif tipe TAI?
2.
Apakah
ada perbedaan hasil belajar siswa pada mata pelajaran dasar dan pengukuran
listrik ditinjau dari motivasi berprestasi tinggi dan rendah?
3.
Apakah
ada interaksi antara model pembelajaran dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar siswa pada mata
pelajaran dasar dan pengukuran listrik?
C.
Batasan Masalah
Berdasarkan
rumusan masalah yang telah diuraikan, maka batasan masalah penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.
Model pembelajaran yang digunakan adalah Model
Pembelajaran Langsung (MPL) dan Mdel Pembelajaran Kooperatif (MPK) tipe Team Assisted Individualization (TAI).
2.
Pengukuran
hasil belajar siswa pada mata pelajaran dasar dan pengukuran listrik pada kompetensi dasar
menganalisis rangkaian
listrik arus bolak-balik.
3.
Kurikulum
yang digunakan adalah Kurikulum 2013.
4.
Pengukuran
hasil belajar siswa pada mata pelajaran dasar dan pengukuran listrik kompetensi dasar
menganalisis rangkaian listrik arus bolak balik.
5.
Sampel yang
digunakan adalah siswa SMK program studi keahlian Teknik Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik kelas X di SMK Negeri 7 Surabaya.
6.
Hasil
belajar siswa akan diukur adalah hasil belajar kognitif, afektif dan psikomotor.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui adanya perbedaan hasil
belajar siswa pada mata pelajaran dasar dan pengukuran listrik yang dibelajarkan dengan model pembelajaran langsung dan model
pembelajaran kooperatif tipe TAI.
2. Mengetahui adanya perbedaan hasil
belajar siswa pada mata pelajaran dasar dan pengukuran listrik ditinjau dari motivasi
berprestasi.
3.
Mengetahui
adanya interaksi antara model pembelajaran dan motivasi berprestasi terhadap hasil
belajar siswa pada mata pelajaran dasar dan pengukuran listrik.
E. Manfaat Penelitian
Peneliti
berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik bagi siswa maupun
guru. Adapun manfaat penelitian ini adaalah sebagai berikut:
1. Bagi
penulis, dalam penelitian ini diharapkan dapat memperoleh informasi tentang
perbandingan hasil belajar siswa antara yang menggunakan model pembelajaran langsung dan model pembelajaran kooperatif tipe TAI
pada siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi dan rendah.
2. Bagi
guru, penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam memilih model
pembelajaran yang tepat
dengan mempertimbangkan motivasi berprestasi siswa sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa.
3. Siswa
diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar pada mata pelajaran dasar dan
pengukuran listrik.
4. Dapat
menjadi pilihan yang efektif bagi sekolah-sekolah SMK di dalam membelajarkan
model pembelajaran mata pelajaran dasar dan pengukuran listrik di kelas serta
dapat menjadi jawaban untuk meningkatkan hasil belajar siswa SMK.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teoritik
1.
Motivasi Berprestasi
a.
Pengertian motivasi berprestasi
Motivasi dalam
bahasa Inggris adalah motive berasal
dari kata “motion” yang berarti gerak
atau sesuatu yang bergerak. Berawal dari kata motif itu motivasi dapat
diartikan sebagai daya penggerak aktif. Motivasi dapat menjadi aktif pada saat-saat tertentu terutama bila kebutuhan
untuk mencapai tujuan sangat diperlukan.
Purwanto (2000: 70-71)
berpendapat, bahwa setiap motivasi itu bertalian erat dengan suatu tujuan dan
cita-cita. Makin berharga tujuan itu bagi yang bersangkutan, makin kuat pula motivasinya,
sehingga motivasi itu
sangat berguna bagi tindakan atau perbuatan seseorang.
Menurut Mc. Donald yang
dikutip oleh Sardiman (2011: 198), motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang
ditandai dengan munculnya “feeling”
dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang
dikemukakan Mc. Donald ini mengandung tiga elemen penting, yaitu: (1) motivasi
itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia,
(2) motivasi ditandai dengan munculnya rasa dan afeksi seseorang, dan (3)
motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan.
Dalam kegiatan
belajar, Fathurrohman dan Sutikno (2007:19)
mengatakan bahwa motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di
dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah
kegiatan belajar, sehingga diharapkan dapat mencapai tujuan.
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi
merupakan dorongan untuk berbuat sebaik mungkin, agar memperoleh hasil yang
terbaik dengan kondisi yang diharapkan. Motivasi berprestasi merupakan
pendorong bagi siswa untuk berbuat sebaik-baiknya dengan tujuan mencapai hasil
belajar yang setinggi-tingginya.
b.
Ciri-ciri dan indikator motivasi
berprestasi
Motivasi yang ada pada diri
siswa sangat penting dalam kegiatan belajar. Ada tidaknya motivasi seseorang
individu untuk belajar sangat berpengaruh dalam proses aktivitas belajar itu
sendiri. Seperti dikemukakan oleh Sardiman (2011: 83)
motivasi berprestasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)
Tekun menghadapi tugas
(dapat bekerja terus menerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti
sebelum selesai).
2)
Ulet menghadapi kesulitan
(tidak lekas putus asa). Tidak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi
sebaik mungkin (tidak cepat puas dengan prestasi yang telah dicapai).
3)
Mewujudkan minat terhadap
bermacam-macam masalah untuk orang dewasa. (misalnya masalah pembangunan,
agama, politik, ekonomi, keadilan, pemberantasan korupsi, penentangan terhadap
setiap tindak kriminal, amoral dan sebagainya).
4)
Lebih senang bekerja
mandiri.
5)
Cepat bosan pada tugas-tugas
yang rutin (hal-hal yang bersifat mekanis, berulang-ulang begitu saja, sehingga
kurang kreatif).
6)
Dapat mempertahankan
pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu).
7)
Tidak mudah melepaskan hal
yang diyakini itu.
8)
Senang mencari dan
memecahkan masalah soal-soal.
Jika ciri-ciri tersebut
terdapat pada seorang siswa berarti siswa tersebut memiliki motivasi
berprestasi yang cukup kuat yang dibutuhkan dalam aktifitas belajarnya.
Dari pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa siswa yang memiliki motivasi tinggi dalam berprestasi akan
menunjukkan hal-hal seperti; 1) keinginan mendalami materi, 2) ketekunan dalam mengerjakan
tugas, 3) keinginan berprestasi, dan 4) keinginan untuk maju.
c.
Jenis-jenis motivasi berprestasi
Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah
merupakan hal yang penting setidaknya para siswa memiliki motivasi untuk
berprestasi karena kegiatan akan berhasil baik apabila anak yang bersangkutan
mempunyai motivasi yang kuat. Hapsari (2005: 74) membagi motivasi membagi dua
jenis, yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik dengan mendefinisikan
kedua jenis motivasi tersebut. Motivasi instrinsik adalah bentuk dorongan
belajar yang datang dari dalam diri seseorang dan tidak perlu rangsangan dari
luar. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan belajar yang datangnya dari
luar diri seseorang.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
motivasi terdiri dari dua macam, yaitu motivasi instrinsik dan motivasi
ekstrinsik. Berkenaan dengan kegiatan belajar motivasi instrinsik mempunyai
sifat yang lebih penting karena daya penggerak yang mendorong seseorang dalam
belajar dari pada motivasi ekstrinsik. Keinginan dan usaha belajar atas dasar
inisiatif dirinya sendiri akan membuahkan hasil belajar yang maksimal, sedang
motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang mendorong belajar itu timbul dari luar
dirinya. Apabila keinginan untuk belajar hanya dilandasi oleh dorongan dari
luar dirinya maka keinginan untuk belajar tersebut akan mudah hilang.
1)
Motivasi intrinsik
Santrock (2003: 476) mengatakan motivasi intrinsik adalah keinginan dari dalam
diri seseorang untuk menjadi kompeten, dan melakukan sesuatu demi usaha itu
sendiri. Thursan (2008: 28) mengemukakan motif intrinsik adalah motif yang
mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu kegiatan.
Menurut Hapsari (2005: 74)
motivasi intrinsik pada umumnya terkait dengan bakat dan faktor intelegensi
dalam diri siswa. Motivasi intrinsik dapat muncul sebagai suatu karakter yang
telah ada sejak seseorang dilahirkan, sehingga motifasi tersebut merupakan
bagian dari sifat yang didorong oleh faktor endogen, faktor dunia dalam, dan
sesuatu bawaan (Gunarsa, 2008: 50).
Sedangkan menurut
Thursan (2008: 29), seorang siswa yang memiliki motivasi intrinsik akan
aktif belajar sendiri tanpa disuruh guru maupun orang tua. Motivasi intrinsik
yang dimiliki siswa dalam belajar akan lebik kuat lagi apa bila memiliki
motivasi eksrtrinsik.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat
ditarik kesimpulan motivasi intrinsik adalah motivasi yang kuat berasal dari
dalam diri individu tanpa adanya pengaruh dari luar yang mendorong seseorang
untuk melakukan sesuatu kegiatan.
Menurut Hapsari (2005: 74) faktor yang mempengaruhi motivasi intrinsik
pada umumnya terkait dengan faktor intelegensi dan bakat dalam diri siswa. Gunarsa (2008:
50-51), mengemukakan bahwa motivasi intrinsik dipengaruhi oleh faktor endogen,
faktor konstitusi, faktor dunia dalam, sesuatu bawaan, sesuatu yang telah ada
yang diperoleh sejak dilahirkan. Selain itu, motivasi intrinsik dapat diperoleh
dari proses belajar. Seseoran yang meniru tingkah orang lain, yang menghasilkan
sesuatu yang menyenangkan secara bertahap, maka dari proses tersebut terjadi
proses internalisasi dari tingkah laku yang ditiru tersebut sehingga menjadi
kepribadian dari dirinya.
Dari berbagai pendapat di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang mempengaruhi motivasi intrinsik
antara lain: (1) keinginan diri, (2) kepuasan, (3) kebiasaan baik, dan (4)
kesadaran.
2)
Motivasi ekstrinsik
Menurut Supandi (2011: 61),
motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang timbul manakala terdapat rangsangan
dari luar individu. Adapun
Santrock (2003: 476) berpendapat, motivasi ekstrinsik adalah
keinginan mencapai sesuatu dengan tujuan untuk mendapatkan tujuan eksternal
atau mendapat hukuman eksternal. Lebih lanjut menurut Santrock (2003: 476), motivasi ekstrinsik adalah keinginan
untuk mencapai sesuatu didorong karena ingin mendapatkan penghargaan eksternal
atau menghindari hukuman eksternal. Motivasi ekstrinsik adalah dorongan untuk
berprestasi yang diberikan oleh orang lain seperti semangat, pujian dan nasehat
guru, orang tua, dan orang lain yang dicintai.
Dari berbagai pendapat tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa motivasi ektrinsik dipengaruhi atau dirangsang
dari luar individu. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi ekstrinsik antara
lain; (1) pujian, (2) nasehat, (3) semangat, (4) hadiah, (5) hukuman, dan (6) meniru.
d.
Fungsi motivasi berprestasi
Motivasi berhubungan erat dengan suatu tujuan.
Dengan demikian motivasi dapat mempengaruhi adanya kegiatan. Kaitannya dengan
belajar, motivasi merupakan daya penggerak untuk melakukan belajar. Menurut Sardiman
(2011: 85) bahwa motivasi mempunyai fungsi sebagai berikut:
1)
Mendorong manusia untuk
berbuat. Jadi motivasi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi
motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak yang akan digerakkan.
2)
Menentukan arah perbuatan
yakni kearah tujuan yang akan dicapai. Jadi motivasi dapat memberi arah
kegiatan yang harus dikerjakan agar sesuai dengan tujuannya.
3)
Menyeleksi perbuatan yakni
menentukan perbuatan yang harus dikerjakan yang sesuai untuk mencapai tujuan
dengan menyisihkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya fungsi motivasi dalam belajar adalah sebagai
pendorong dan pengarah seseorang atau siswa pada aktifitas mereka dalam
pencapaian tujuan belajar.
e.
Indikator motivasi berprestasi
Adapun indikator
motivasi berprestasi yang dapat ditarik adalah sebagai berikut:
1) Keinginan mencapai hasil yang optimal,
yaitu: a) dorongan untuk selalu maju dalam menekuni mata pelajarn dasar dan pengukuran listrik, b) dorongan untuk selalu mendapat nilai
baik, c) dorongan untuk menyelesaikan tugas-tugas, dan d) kesungguhan siswa
dalam merespon.
2) Keinginan untuk meningkatkan pengetahuan,
yaitu: a) dorongan untuk membaca dan mengerjakan soal-soal, b) dorongan untuk
mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang belum jelas, dan c) dorongan untuk
membaca buku baru.
3)
Rasa
percaya diri dan kepuasan, yaitu: a) dorongan untuk menguasai materi materi
pembelajaran secara mandiri, b) memiliki kepuasan dalam mengikuti proses
pembelajaran, dan c) adanya keinginan umpan balik dalam pembelajaran.
2.
Model Pembelajaran
Menurut Suprijono (2010: 46), model pembelajaran adalah pola yang
digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran dikelas maupun
tutorial. Model pembelajaran berfungsi pula sebagai pedoman bagi para perancang
pembelajaran dan para guru dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.
Melalui model pembelajaran guru dapat membantu siswa mendapatkan informasi,
ide, keterampilan, cara berpikir, dan mengekspresikan ide. Model pembelajaran
berfungsi pula sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para guru
dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar. Dalam penelitian ini dikemukakan dua
model pembelajaran yang digunakan, yaitu model pembelajaran langsung dan model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted
Individualization (TAI).
a.
Model Pembelajaran Langsung (MPL)
1)
Pengertian Model Pembelajaran Langsung
Model pembelajaran langsung adalah salah satu pendekatan
mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang
berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pegetahuan prosedural yang
terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola bertahap, selangkah
demi selangkah (Kardi dan Nur (2005:5).
Adapun
ciri-ciri Model Pembelajaran Langsung
(MPL) menurut Kardi & Nur (2005: 3) adalah sebagai berikut:
a) Adanya tujuan pembelajaran dan pengaruh model
pada siswa termasuk prosedur penilaian belajar.
b) Sintaks atau pola keseluruhan dan alur
kegiatan pembelajaran
c) Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar
model yang diperlukan agar pembelajaran tertentu dapat berlangsung dengan
berhasil.
2)
Tujuan model pembelajaran langsung
Para pakar teori belajar pada umumnya
membedakan dua macam pengetahuan, yakni pengetahuan deklaratif dan pengetahuan
prosedural. Pengetahuan deklaratif (dapat diungkapkan dengan kata-kata) adalah
pengetahuan tentang sesuatu, sedangkan pengetahuan prosedural adalah
pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu (Kardi & Nur, 2005: 4).
Suatu contoh pengetahuan deklaratif, yaitu besarnya hambatan merupakan hasil bagi
antara tegangan dengan arus listrik (R=V/I). Pengetahuan prosedural yang
berkaitan dengan pengetahuan deklaratif di atas adalah bagaimana memperoleh
rumus atau persamaan hambatan.
Sering kali pengetahuan prosedural memerlukan
penguasaan prasyarat yang berupa pengetahuan deklaratif. Para guru selalu
menghendaki agar siswa-siswa memperoleh kedua macam pengetahuan tersebut,
supaya mereka dapat melakukan suatu kegiatan dan melakukan segala sesuat dengan
berhasil.
Dari penjelasan beberapa teori tersebut bahwa tujuan dibelajarkannya model pembelajaran
langsung adalah siswa memperoleh dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan
deklaratif dan pengetahuan prosedural. Penguasaan pengetahuan tersebut saling
berhubungan demi tercapainya hasil belajar yang maksimal.
3) Sintaks atau pola model pengajaran langsung
Pada
model pengajaran langsung terdapat lima fase yang sangat penting. Guru mengawali
pelajaran dengan penjelasan tentang tujuan dan latar belakang pembelajaran,
serta mempersiapkan siswa untuk menerima penjelasan guru.
Pengajaran
langsung, menurut Kardi (2005: 3) dapat
berbentuk ceramah, demonstrasi, pelatihan atau praktek, dan kerja kelompok.
Pengajaran langsung digunakan untuk menyampaikan pelajaran yang
ditransformasikan langsung oleh guru kepada siswa. Penyusunan waktu yang
digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran harus seefisien mungkin, sehingga
guru dapat merancang dengan tepat waktu yang digunakan.
Sintaks
model pengajaran langsung tersebut disajikan dalam 5 tahap seperti ditunjukkan Tabel
2.1.
Tabel 2.1. Sintaks
Model Pengajaran Langsung
Fase
|
Peran Guru
|
Fase 1
Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa
|
Guru menjelaskan TPK, informasi latar belakang pelajaran,
pentingnya pelajaran, mempersiapkan siswa untuk belajar.
|
Fase 2
Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan
|
Guru mendemonstrasikan keterampilan dengan benar, atau
menyampaikan informasi tahap demi tahap
|
Fase 3
Membimbing pelatihan
|
Guru merencanakan dan memberi bimbingan pelatihan awal
|
Fase 4
Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
|
Mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik,
memberi umpan balik
|
Fase 5
Memberikan kesempatan pelatihan lanjutan dan penerapan
|
Guru mempersiapkan kesempatan melakukan pelatihan lanjutan,
dengan perhatian khusus pada penerapan kepada situasi lebih kompleks dan
kehidupan sehari-hari.
|
Sumber: Kardi
& Nur (2005: 8)
Dari teori tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pada fase persiapan, guru memotivasi siswa
agar siap menerima presentasi materi pelajaran yang dilakukan melalui demonstrasi
tentang keterampilan tertentu. Pembelajaran diakhiri dengan pemberian
kesempatan pada siswa untuk melakukan pelatihan dan pemberian umpan balik
terhadap keberhasilan siswa. Pada fase pelatihan dan pemberian umpan balik
tersebut, guru perlu selalu mencoba memberikan kesempatan pada siswa untuk
menerapkan pengetahuan atau keterampilan yang dipelajari ke dalam situasi
kehidupan nyata.
4) Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran
langsung
Model pembelajaran langsung memilki kekurangan dan
kebelebihan dalam penerapannya. Adapun keunggulan Menurut Sanjaya (2008: 189);
yaitu: (a). guru bisa mengontrol urutan dan mengontrol urutan dan keluasan
materi pembelajaran, (b) efektif utuuk materi pelajaran yang harus dikuasai
siswa cukup luas, sementara itu waktu yang dimiliki untuk belajar terbatas, (c)
selain siswa dapat mendengar melalui tentang suatu materi pelajaran, juga
sekaligus siswa dapat melihat (melalui pelaksanaan demonstrasi), dan (d) bisa
digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas besar.
Namun lebih lanjut
Sanjaya (2008: 189) menjelaskan beberapa kekurangan model pembelajaran
langsung, yaitu: (a) hanya untuk kemampuan mendengar dan
menyimak yang baik, (b) tidak dapat melayani perbedaan kemampuan siswa, dan (c) hanya menekankan pada komunikasi
satu arah (one-way communication).
b.
Model Pembelajaran Koopeatif Tipe Team Assisted Individualization (TAI)
1)
Dasar model pembelajaran
koopeatif tipe Team Assisted Individualization (TAI)
Team
Assisted Individualization (TAI) merupakan bagian dalam model
pembelajaran koopeatif. Model pembelajaran kooperatif belum banyak diterapkan
dalam pendidikan. Kebanyakan pengajar enggan menerapkan sistem kerja sama di
dalam kelas karena beberapa alasan.
Menurut Lie
(2002: 27) alasan pengajar enggan menerapkan sistem kerjasama di dalam kelas
adalah khawatir akan terjadi kekacauan di dalam kelas dan siswa tidak
belajar jika mereka diterapkan di dalam grup. Selain itu, banyak orang
mempunyai kesan negatif mengenai kegiatan kerja sama atau belajar di dalam
kelompok.
Model
pembelajaran koopeatif tidak sama dengan proses pembelajaran yang hanya sekedar
belajar menggunakan kelompok. Namun terdapat beberapa unsur-unsur dasar yang
mendasari perbedaan model pembelajaran kooperatif dengan model pembelajaran
secara berkelompok yang dilakukan secara asal-asalan. Pelaksanaan prosedur
model koopeatif yang di lakukan secara benar akan memungkinkan guru mengelola
kelas dengan lebih efektif.
Menurut Roger dan Johnson dalam Lie (2002: 30), bahwa tidak semua
kerja kelompok bisa dianggap pembelajaran koopeatif. Untuk mencapai hasil yang
maksimal, lima unsur pembelajaran gotong royong harus diterapkan. Kelima unsur
tersebut meliputi; a) saling
ketergantungan positif, b)
tanggung jawab perseorangan, c)
tatap muka, d)
komunikasi antar anggota, dan e)
evaluasi proses kelompok.
Selain
unsur-unsur dan penjabaran secara singkat mengenai model pembelajaran
kooperatif, terdapat teknik-teknik atau metode yang ada pada model pembelajaran
kooperatif ini. Menurut Lie (2002: 54) Metode-metode tersebut, yaitu: a )
mencari pasangan, b)
bertukar pasangan, c)
berpikir-berpasangan-berempat, d)
berkirim salam dan soal, e)
kepala bernomor, f)
kepala bernomor terstruktur, g)
dua tinggal dua tamu, h)
keliling berkelompok, i)
kancing gemrincing, j) keliling kelas, k) lingkaran kecil lingkaran besar, l) tari bambu, m) jigsaw, dan n) bercerita berpasangan.
Metode yang terdapat
dalam model pembelajaran kooperatif tersebut
bervariasi dan banyak pilihanya, mulai dari mencari pasangan sampai ke
bercerita berpasangan. Apabila metode tersebut di terapkan pada proses
pembelajaran tidak menutup kemungkinan siswa akan menjadi aktif dan merasa senang
dengan pembelajaran yang disajikan oleh guru.
Guru yang
baik tidak hanya terpaku pada satu metode atau satu strategi saja, namun guru
yang ingin maju dan berkembang, perlu mempunyai cadangan atau persediaan
strategi dan metode pembelajaran yang pasti akan selalu bermanfaat bagi siswa
dan dalam keseluruhan proses belajar mengajar.
Model pembelajaran kooperatif mempunyai kelebihan dan kekurangan
(Sanjaya, 2008: 248-251). Kelebihan model pembelajaran kooperatif antara lain: a) menumbuhkan sikap
kooperatif atau kerja sama antar siswa, b) menumbuhkan jiwa
kompetitif pada siswa, c)
menumbuhkan motivasi berprestasi pada siswa, d) memupuk sikap gotong royong, toleransi,
kepekaan sosial, sikap demokratis, saling menghargai, memupuk ketrampilan
berinteraksi sosial, dan e)
menumbuhkan rasa tanggung jawab dan keberanian dalam proses pembelajaran.
Sedangkan kekurangan atau kelemahan model pembelajaran kooperatif, yaitu: a) kesulitan dalam memahami kemampuan
individual siswa yang sebenarnya, b)
siswa yang kemampuannya rendah merasa minder dan mengalami kesulitan dalam
proses pembelajaran, c)
munculnya sikap bergantung pada orang lain pada siswa yang kemampuannya rendah,
dan d) siswa yang pandai merasa harus bekerja
melebihi siswa yang lain.
Pelaksanaan pembelajaran kooperatif terdiri dari beberapa fase, yaitu: a) menyampaikan tujuan dan establishing set, b) mempresentasikan informasi, c) mengorganisasikan siswa ke dalam tim-tim belajar,
d) membantu kerja tim dan belajar, e) mengujikan berbagai materi, dan f) memberikan penghargaan. Tabel 2.2 berikut
ini merupakan fase-fase pada model pembelajaran kooperatif menurut (Arends,
2008: 21).
Tabel
2.2.
Fase-fase
pada Pembelajaran Kooperatif
Fase-Fase
|
Kegiatan Guru
|
Fase 1. Menyampaikan tujuan dane stablishing
set
|
Guru menyampaikan tujuan-tujuan pelajaran dan establishing
set
|
Fase 2. Mempresentasikan informasi
|
Guru mempresentasikan informasi kepada siswa secara verbal atau
dengan teks.
|
Fase 3. Mengorganisasikan siswa ke dalam tim-tim belajar
|
Guru menjelaskan kepada siswa tata cara membentuk tim-tim belajar
dan membantu kelompok untuk melakukan transisi yang efisien.
|
Fase 4. Membantu kerja tim danbelajar
|
Guru membantu tim-tim belajar selama mereka mengerjakan tugasnya
|
Fase 5. Mengujikan berbagai materi
|
Guru menguji pengetahuan siswa tentang berbagai materi belajar
atau kelompok- kelompok mempresentasikan hasilnya
|
Fase 6. Memberikan penghargaan
|
Guru mencari cara untuk mengakui usaha dan prestasi individual
maupun kelompok
|
Sumber: Arends (2008)
2)
Pengertian
Model Pembelajaran Kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI)
Model
Pembelajaran kooperatif tipe Team
Assisted Individualization (TAI) ini dikembangkan oleh Slavin. Menurut Slavin
(2005) tipe ini mengkombinasikan keunggulan
pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual. Tipe ini dirancang untuk
mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual. Oleh karena itu kegiatan
pembelajarannya lebih banyak digunakan untuk pemecahan masalah, ciri khas pada
model pembelajaran TAI ini adalah setiap siswa secara individual belajar materi
pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar individual selanjutnya
didiskusikan ke kelompok-kelompok untuk didiskusikan dan saling dibahas oleh
anggota kelompok, dan semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan
jawaban sebagai tanggung jawab bersama.
Model
Pembelajaran tipe Team Assisted Individualization termasuk dalam pembelajaran kooperatif. Dalam model pembelajaran kooperatif tipe TAI,
siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok kecil (3 sampai 4 siswa) yang heterogen dan selanjutnya diikuti
dengan pemberian bantuan secara individu bagi siswa yang memerlukannya. Sebelum
dibentuk kelompok, siswa diajarkan bagaimana bekerja sama dalam suatu kelompok.
Siswa diajari menjadi pendengar yang baik, dapat memberikan penjelasan kepada
teman sekelompok, berdiskusi, mendorong teman lain untuk bekerja sama,
menghargai pendapat teman lain, dan sebagainya. Masing-masing anggota dalam
kelompok memiliki tugas yang setara. Karena pada pembelajaran kooperatif
keberhasilan kelompok sangat diperhatikan, maka siswa yang pandai ikut
bertanggung jawab membantu temannya yang lemah dalam kelompoknya. Dengan
demikian, siswa yang pandai dapat mengembangkan kemampuan dan ketrampilannya,
sedangkan siswa yang lemah akan terbantu dalam memahami permasalahan yang
diselesaikan dalam kelompok.
3)
Komponen-komponen model
pembelajaran kooperatif Tipe TAI
Model pembelajaran
kooperatif TAI memiliki delapan komponen (Slavin, 1995:101-104) Kedelapan komponen tersebut
adalah sebagai berikut:
1) teams, yaitu pembentukan kelompok heterogen yang
terdiri atas 3- sampai 4 siswa,
2) placement test, yakni pemberian pretest
kepada siswa atau melihat rata-rata nilai harian siswa agar guru mengetahui
kelemahan siswa pada bidang tertentu,
3) student creative, yaitu melaksanakan
tugas dalam suatu kelompok dengan menciptakan situasi di mana keberhasilan
individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya,
4) team study, yaitu tahapan tindakan
belajar yang harus dilaksanakan oleh kelompok dan guru memberikan bantuan
secara individual kepada siswa yang membutuhkannya,
5) team scores and team
recognition, yaitu pemberian skor terhadap hasil kerja kelompok dan
memberikan kriteria penghargaan terhadap kelompok yang dipandang kurang
berhasil dalam menyelesaikan tugas,
6) teaching group, yakni pemberian materi
secara singkat dari guru menjelang pemberian tugas kelompok,
7) facts test, yaitu pelaksanaan
tes-tes kecil bardasarkan fakta yang diperoleh siswa,
8) whole class units, yaitu pemberian materi
oleh guru kembali di akhir waktu pembelajaran dengan strategi pemecahan
masalah.
3.
Hasil Belajar
a. Pengertian
hasil belajar
Hasil
belajar merupakan variabel dari teori belajar di sekolah. Selain variabel
lainnya, yaitu karakteristik individu (siswa) dan kualitas pengajaran. Hal ini
dinyatakan oleh Bloom dalam Theory of School Learning, bahwa ada
tiga variabel utama dalam teori belajar di sekolah yakni: karakteristik
individu, kualitas pengajaran, dan hasil belajar siswa (Sudjana, 2005: 40). Hasil
belajar yang dimaksud disini adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki seorang
siswa setelah ia menerima perlakukan dari pengajar (guru) dimana hasil belajar
memiliki hubungan erat dengan proses belajar. Menurut
Whittaker (dalam Aunurrahman, 2009: 35) mengemukakan bahwa belajar adalah
proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau
pengalaman. Djamarah dan Zain (2010: 38) mengemukakan bahwa belajar pada
hakikatnya adalah perubahan yang terjadi dalam diri seseorang setelah
berakhirnya melakukan aktivitas belajar. Sedangkan pendapat lain dari Abdillah
(dalam Aunurrahman, 2009: 35) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu usaha
sadar yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah laku baik memalui
latihan ataupun pengalaman yang menyangkut aspek-aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor untuk memperoleh tujuan tertentu. Maka proses belajar itu adalah
proses kegiatan siswa untuk memperoleh sejumlah pengetahuan dan pengalaman
belajar dalam mencapai tujuan pembelajaran. Sedangkan hasil belajar merupakan
gambaran kemampuan yang ditunjukan oleh adanya perubahan tingkah laku setelah
siswa mengikuti proses belajar.
Dari
beberapa penjelasan teori tersebut, jelas bahwa hasil belajar sangat tergantung
pada proses belajar. Hasil belajar akan terlihat setelah diberi perlakuan pada
proses balajar yang dianggap sebagai proses pemberian pengalaman belajar. Hasil
belajar mengharapkan terjadinya perubahan tingkah laku yang terjadi pada diri
siswa. Maka yang dimaksud dengan hasil belajar adalah kemampuan siswa setelah
memperoleh pengalaman belajar dalam proses belajar agar terjadi perubahan
tingkah laku pada diri siswa dalam bentuk penguasaan dan pemahaman pelajaran
yang dipelajarinya.
Arikunto
(2001: 26), mengukur
hasil belajar dalam dua teknik, yaitu teknik tes dan non tes. Pada penelitian
ini menggunakan teknik tes, dan
pengamatan. Menurut Hasan (2006: 95) mengemukakan bahwa tes
adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru disekolah dalam rangka kegiatan
evaluasi (mengukur, menilai, assessment). Sedangkan Arikunto (2001: 53) mengemukakan bahwa tes merupakan alat
atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam
suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan. Tes menurut
Sudjana (2005: 113) adalah alat ukur yang diberikan kepada individu untuk
mendapatkan jawaban-jawaban yang diharapkan baik secara tertulis atau secara
lisan atau secara perbuatan. Ada dua macam tes hasil belajar yakni: tes yang
telah distandarisasikan (standardized test) dan tes buatan guru sendiri
(teacher made test). Tes hasil belajar yang dibuat oleh guru itu
dapat dibagi dua macam, yakni tes lisan (oral test) dan tes tulisan (written
test). Tes tertulis dapat dibagi atas tes essay (essay
examination) dan tes objektif. Tes objektif yang disusun dapat berbentuk
pilihan ganda, benar-salah, menjodohkan isian pendek, saat ini banyak digunakan
dalam penelitian pendidikan. Sedangkan tes essay
jarang digunakan sebab kurang praktis dan terlalu subjektif. Persyaratan dari
sebuah tes yang baik menurut Arikunto (2001: 57) diantaranya yaitu sebagai berikut:
a) validitas
(secara tepat mengukur yang seharusnya diukur),
b) reliabilitas
(menunjukkan hasil yang dapat dipercaya dan tidak berubah jika diadakan tes
kembali),
c) objektifitas
(tidak dipengaruhi unsur-unsur pribadi),
d) praktikabilitas
(praktis dan mudah dalam administrasinya), dan
e) ekonomis
(tidak memerlukan biaya yang mahal, tenaga dan waktu yang banyak).
Dalam
penelitian ini, hasil belajar yang
dimaksud adalah hasil belajar kognitif, afektif dan psikomotor. Instrumen yang
digunakan untuk mengukur hasil belajar kognitif adalah
tes yang digunakan, yaitu tes buatan peneliti yang berbentuk tes tertulis
objektif pilihan. Sedangkan
instrumen yang digunakan untk mengkur hasil belajar afektif dan psikomotor
adalah lembar pengamatan. Agar memenuhi syarat validitas,
reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran maka tes buatan peneliti ini
akan di uji coba terlebih dahulu kepada siswa-siswa yang telah mempelajari mata
pelajaran yang akan diteliti.
b.
Klasifikasi hasil belajar
Kingsley
(dalam Sudjana, 2005: 22), membagi tiga macam hasil belajar adalah keterampilan
dan kebiasaan, pengetahuan dan pengertian, dan sikap dan cita-cita. Dalam
Sistem Pendidikan Nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler
maupun instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar Benyamin S. Bloom
yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif,
ranah afektif dan ranah psikomotor.
Bloom
(dalam Rochmad, 2012) membagi ranah masing-masing ranah ke dalam
tingkatan-tingkatan kategori yang dikenal dengan istilah taksonomi seperti
berikut:
1) Ranah kognitif
Ranah
kognitif meliputi kemampuan menyatakan kembali konsep atau prinsip yang telah
dipelajari dan kemampuan intelektual. Bloom membagi ranah kognitif ke dalam 6
jenjang kemampuan, yaitu:
a) Mengingat
(C1)
Mengingat
kembali pengetahuan yang diperoleh dari ingatan jangka panjang. Adapun proses
dalam ranah kognitif ini adalah :
(1) Mengenali
(recognizing) atau mengidentifikasi:
menemukan pengetahuan dari ingatan jangka panjang yang sesuai dengan materi
yang disajikan (misalnya: mengenali tanggal-tanggal penting dalam sejarah
Amerika).
(2) Mengingat
(recalling) atau menemukan kembali:
menemukan hubungan atau kaitan antara pengetahuan dari ingatan jangka panjang
(misalnya: mengingat kembali hari-hari penting dalam sejarah Amerika).
b) Memahami
(C2)
Membangun
pengertian atau makna dari pesan berupa perintah atau instruksi, termasuk
secara lisan, tertulis dan hubungan dengan kejadian yang sebenarnya atau dalam
bentuk gambar. Adapun proses dalam ranah kognitif tingkat ini meliputi:
(1) Menafsirkan
(interpreting) atau mengartikan/
menggambarkan ulang: mengubah dari satu bentuk gambaran (misal: angka) ke
bentuk lain (misal: kalimat).
(2) Memberi
contoh (exampliying) atau
mengilustrasikan: menemukan contoh yang sesuai dan cocok atau mengilustrasikan
suatu konsep.
(3) Mengklasifikasi (classifying)
atau mengelompokkan: menentukan konsep yang ada pada suatu materi atau
kategori.
(4) Meringkas
(summarizing): meringkas suatu bagian
yang umum atau poin-poin utama dari suatu tema.
(5) Menduga (inferring)
atau mengambil kesimpulan atau memprediksi: menggambarkan kesimpulan secara
nyata dari informasi yang disajikan.
(6) Membandingkan
(compairing) atau memetakan dan
mencocokkan: mendeteksi atau mencari kesesuaian antara dua ide, objek dan
hal-hal yang serupa.
(7) Menjelaskan (explaining) atau membangun suatu model: membangun hubungan
sebab-akibat dari suatu system.
c) Mengaplikasikan
(C3)
Menerapkan
atau menggunakan suatu tata cara yang telah diberikan pada suatu keadaan.
Proses kognitif yang dilalui adalah:
(1) Menjalankan
(executing): menerapkan suatu cara
yang telah dikenal untuk tugas yang telah biasa dijumpai.
(2) Mengimplementasikan (implementing): menggunakan cara yang telah ada untuk menyelesaikan
tugas yang belum dikenal sebelumnya
d) Menganalisis
(C4)
Memutuskan
suatu material ke dalam unsur-unsur pokok dan menentukan bagaimana
hubungan/kaitan dari satu unsur tersebut dengan unsur yang lain dan kedalam
tujuan atau struktur umum dari suatu materi. Proses kognitif yang dilalui
adalah:
(1) Membedakan
(diffrentiating) atau memilih:
membedakan bagian yang memiliki hubungan dengan bagian yang tidak memiliki
hubungan atau memisahkan bagian yang penting dengan bagian yang tidak penting
dari materi yang telah disajikan
(2) Mengorganisir
(organizing) atau menemukan hubungan,
mengintegrasi, garis besar, uraian dan menyusun secara struktur: menentukan
bagaimana suatu unsur atau fungsi sesuai dengan
(3) Menemukan
makna tersirat (attributing):
menetukan pokok permasalahan, bias, nilai atau maksud tersembunyi dari materi
yang ada
e) Evaluasi
(C5)
Membuat
penilaian atau keputusan berdasarkan kriteria atau standar. Proses ini
meliputi:
(1) Memeriksa
(checking) atau mengkoordinasi,
menemukan, mengawasi dan menguji: menemukan ketidaksesuaian atau kesalahan
antara proses dan hasil; menentukan bahwa proses dan hasil memiliki kesesuaian;
mengawasi ketidakefektifan suatu cara dalam penerapan.
(2) Mengritik
(critiquing)
atau memutuskan: menemukan ketidaksesuaian antara hasil dan kriteria dari luar,
menentukan bahwa hasil sesuai atau tidak, menemukan kesalahan dari suatu cara
yang menyebabkan suatu masalah.
f) Mencipta
(C6)
Mengambil
semua unsur pokok untuk membuat sesuatu yang memiliki fungsi atau
mengorganisasikan kembali element yang ada ke dalam stuktur atau pola yang
baru. proses ini meliputi:
(1) Merumuskan
(generating): membuat hipotesis atau
dugaan sebagai alternatif berdasarkan kriteria yang ada (misal: menyusun
hipotesis untuk laporan dari fenomena yang telah diamati).
(2) Merencanakan
(planning) atau mendesain:
merencanakan cara untuk menyelesaikan tugas (misal: rencana penelitian
dengantelaah pustaka ditulis berdasarkan topik sejarah yang ada).
(3) Memproduksi (producing): menemukan atau menghasilkan suatu produk ( menciptakan
suatu lingkungan atau keadaan untuk tujuan tertentu).
Untuk
dapat membuat suatu penilaian, seseorang harus memahami, dapat menerapkan,
menganalisis dan mensintesis terlebih dahulu. Contoh kata kerja yang digunakan,
yaitu menilai, menafsirkan, menaksir, memutuskan. Peneliti hanya menggunakan
penilaian dalam ranah kognitif dengan jenjang pengetahuan (C1), pemahaman (C2),
penerapan (C3), analisis (C4), evaluasi (C5), dan mencipta (C6).
2) Ranah afektif
Ranah afektif terdiri dari lima perilaku, yaitu penerimaan, partisipasi, penilaian
dan penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup. Lima perilaku ranah afektif selanjutnya
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Penerimaan, yang mencakup kepekaan tentang
hal tertentu dan kesediaan memperhatikan hal tersebut, misalnya kemampuan
mengakui perbedaan pendapat.
b) Partisipasi, yang mencakup kerelaan,
kesediaan memperhatikan, dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan, misalnya
mematuhi aturan, dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan.
c) Penilaian dan penentuan sikap, yang
mencakup menerima suatu nilai, menghargai, mengakui, dan menetukan sikap.
Misalnya menerima suatu pendapat orang lain.
d) Organisasi, yang mencakup kemampuan
membentuk suatu sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan hidup. Misalnya
menempatkan nilai dalam suatu skala nilai dan dijadikan pedoman bertindak
secara bertanggung jawab.
e) Pembentukan pola hidup, yang mencakup
kemampuan menghayati nilai dan membentuknya menjadi pola nilai kehidupan pribadi.
Misalnya kemampuan mempertimbangkan dan menunjukkan tindakan yang berdisiplin.
Kelima jenis perilaku tersebut tampak
mengandung tumpang tindih dan juga berisi kemampuan kognitif. Kelima jenis
perilaku tersebut bersifat hierarkis. Perilaku penerimaan merupakan jenis
perilaku perilaku terendah dan perilaku pembentukan pola hidup merupakan jenis
perilaku tertinggi.
3) Ranah psikomotor
Menurut Simpson dalam Dimyati dan Mudjiono (2006: 29-30) membagi ranah psikomotor menjadi
tujuh jenis perilaku, yaitu: persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan
yang terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreativitas. Tujuh perilaku dalam ranah psikomotor
selanjutnya dijelaskan sebagai berikut:
a) Persepsi, yang mencakup kemampuan memilah-milahkan
(mendeskriminasikan) hal-hal secara khas, dan menyadari adanya perbedaan yang
khas tersebut, misalnya pemilahan warna, angka 6 (enam) dan 9 (sembilan).
b) Kesiapan, yang mencakup kemampuan
penempatan diri dalam keadaan di mana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian
gerakan. Kemampuan ini mencakup jasmani dan rohani, misalnya posisi start lomba
lari.
c) Gerakan terbimbing, mencakup kemampuan
melakukan gerakan sesuai contoh, atau gerakan peniruan, misalnya meniru gerak
tari, membuat lingkaran di atas pola.
d) Gerakan yang terbiasa, mencakup kemampuan
melakukan gerakan- gerakan tanpa contoh, misalnya melakukan lompat tinggi
dengan tepat.
e) Gerakan kompleks, yang mencakup kemampuan
melakukan gerakan atau ketrampilan yang terdiri dari banyak tahap, secara
lancar, efisien, dan tepat, misalnya bongkar pasang peralatan secara tepat.
f) Penyesuaian pola gerakan, yang mencakup
kemampuan mengadakan perubahan dan penyesuaian pola gerak-gerik dengan persyaratan
khusus yang berlaku, misalnya bertanding.
g) Kreativitas, mencakup kemampuan melahirkan
pola gerak-gerak yang baru atas dasar prakarsa sendiri, misalnya kemampuan
membuat tari kreasi baru.
Ketujuh jenis perilaku tersebut
mengandung urutan taraf ketrampilan yang berangkaian. Kemampuan-kemampuan
tersebut merupakan urutan fase-fase dalam proses belajar motorik yang bersifat
hierarkikal. Belajar berbagai kemampuan gerak dapat dimulai dengan kepekaan
memilah-milah sampai dengan kreativitas pola gerak baru. Hal ini menunjukkan
bahwa kemampuan psikomotor mencakup kemampuan fisik dan mental.
Dalam penelitian ini hasil
belajar yang dimaksud adalah hasil belajar kognitif, afektif, dan psikomotor.
Adapun penilaian
dalam hasil belajar kognitif
dengan jenjang pengetahuan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4),
evaluasi (C5), mencipta (C6). Hasil
belajar afektif diperoleh dari hasil pengamatan sikap siswa selama proses pembelajaran.
Sikap yang diamati meliputi:
bekerjasama, saling
menghargai,
jujur, dan bertanggungjawab.
Sedangkan hasil belajar psikomotor diperoleh dari hasil pengamatan selama
proses praktikum dan merupakan penilaian kinerja siswa. Kinerja yang diamati
meliputi:
mengaktifkan program PheT, membuat rangkaian sesuai dengan gambar, memasang sebuah Amperemeter untuk
mengukur besar arus yang mengalir, menjalankan
simulasi rangkaian, menambah
jumlah variabel manipulasi kemudian mengamati dan mencatat penunjukkan
Amperemeter, dan mengulangi
langkah sebelumnya dengan mengganti nilai variabel manipulasi sebanyak 5 kali.
4.
Pengaruh Model Pembelajaran dan Motivasi Berprestasi Terhadap Hasil Belajar
Trianto (2007: 1) menyatakan bahwa model
pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai
pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam
tutorial. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan,
termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan
pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas.
Afifuddin (2009: 34) mengatakan bahwa dalam
mengajarkan suatu konsep atau materi tertentu, tidak ada satu model
pembelajaran yang lebih baik daripada model pembelajaran lainnya). Dengan demikian berarti bahwa untuk
setiap model pembelajaran harus disesuaikan dengan konsep yang lebih cocok dan
dapat dipadukan dengan model pembelajaran yang lain untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Oleh karena itu,
dalam memilih suatu model pembelajaran harus memiliki pertimbangan-
pertimbangan seperti materi pelajaran, jam pelajaran, tingkat perkembangan
kognitif siswa, lingkungan belajar, dan fasilitas penunjang yang tersedia
sehingga tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Hasil belajar merupakan tujuan yang hendak
dicapai dalam proses pembelajaran. Dalam mencapai suatu tujuan seseorang akan
berusaha semaksimal mungkin. Adanya tujuan yang jelas akan mempengaruhi
timbulnya kebutuhan kebutuhan, dan ini akan mendorong timbulnya motivasi dalam
diri siswa. Terkait dengan pencapaian prestasi, adanya motivasi berprestasi dalam diri
siswa dalam diri siswa akan merangsang dirinya meraih prestasi secara optimal.
Terkait motivasi, menurut McClelland dalam Afifuddin (2008) mengemukakan bahwa
seseorang mempunyai motivasi untuk bekerja karena adanya kebutuhan untuk
berprestasi. Motivasi di sini merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu: a)
harapan untuk melakukan tugas dengan berhasil, b) persepsi tentang nilai tugas
tersebut, dan c) kebutuhan untuk keberhasilan atau sukses.
Kebutuhan untuk berprestasi bersifat
intrinsik dan relatif stabil. Orang
yang mempunyai motivasi
berprestasi tinggi
ingin menyelesaikan tugas dan meningkatkan keterampilan
mereka. Mereka ini berorientasi kepada tugas dan masalah-masalah yang
memberikan tantangan, dimana penampilan mereka dapat dinilai dan dibandingkan
dengan suatu patokan atau dengan penampilan orang lain. Orang seperti ini
menginginkan adanya umpan balik mengenai penampilannya.
Siswa dengan motivasi berprestasi tinggi selalu memilih bekerja untuk tugas-tugas
yang mempunyai derajat tantangan yang sedang-sedang karena mereka menginginkan
adanya keberhasilan. Mereka tidak menyenangi tugas yang mudah dan tidak
memberikan tantangan. Sebaliknya untuk melakukan tugas-tugas yang sangat sulit
mereka tidak mau apabila mereka yakin bahwa tugas tersebut sulit untuk
dilaksanakan. Dengan demikian terlihat bahwa di dalam bekerja mereka tidak
bersifat untung-untungan, dan semua tujuan mereka adalah realistis. Apabila
berhasil, mereka akan meningkatkan aspirasinya sehingga dapat meningkat ke
tugas yang lebih sulit. Siswa dengan motivasi berprestasi rendah sebaliknya mau memilih tugas-tugas yang
sangat mudah atau sangat sulit. Apabila tugas sangat mudah dengan sendirinya
mereka akan dapat melakukannya dengan baik, sebaliknya kegagalan di dalam
melaksanakan tugas yang sangat sulitpun tidak mempunyai arti apa-apa bagi
mereka karena sejak semua mereka telah tahu akan gagal. Di sini terlihat bahwa
di dalam menentukan tujuan mereka tidak realistis.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
motivasi berprestasi merupakan dorongan untuk berbuat sebaik mungkin, agar
memperoleh hasil yang terbaik dengan kondisi yang diharapkan. Motivasi
berprestasi merupakan pendorong bagi siswa untuk berbuat sebaik-baiknya dengan
tujuan mencapai hasil belajar yang setinggi-tingginya.
5. Tinjauan
Umum Mata pelajaran Dasar dan
Pengukuran Listrik
Mata
pelajaran dasar dan pengukuran listrik merupakan salah satu program kompetensi
kejuruan yang wajib diikuti oleh siswa kelas X di SMK Negeri 7 Surabaya, Program Keahlian Teknik
Ketenagalistrikan. sub kompetensi yang akan dibahas yaitu menganalisis
rangkaian listrik arus bolak balik diantaranya rangkaian R-L, R-C, R-L-C.
Gambaran
materi atau silabus mata pelajaran dasar dan pengukuran listrik yaitu: (a) dasar
dan pengukuran listrik arus bolak-balik. (b) Menganalisis rangkaian kemagnetan. Pokok bahasan yang diambil: (a) Rangkaian seri RL,
RC, dan RLC. (b) Rangkaian paralel RL, RC, dan RLC. Materi yang akan disampaikan adalah sebagai berikut:
a.
Rangkaian Seri
R–L
1) Pengertian
rangkaian R-L
2) Rumus
mencari tegangan
3) Rumus
mencari arus
4) Rumus
mencari impedansi
5) Rumus
reaktansi induktor
6) Segitiga
daya
b.
Rangkaian Seri
R–C
1) Pengertian
rangkaian R-C
2) Rumus
mencari tegangan
3) Rumus
mencari arus
4) Rumus
mencari impedansi
5) Rumus
reaktansi kapasitor
6) Segitiga
daya
c.
Rangkaian Seri
R-L-C
1) Pengertian
rangkaian seri RLC
2) Sifat-sifat
pada rangkangaian seri RLC
3) Rumus
tegangan, arus dan impedansi,
dan
4) Segitiga
tahanan
B.
Penelitian yang Relevan
Di
bawah ini akan disajikan beberapa hasil penelitian yang relevan dengan
penelitian ini. Hasil penelitian pendukung yang dimaksud yaitu hasil penelitian
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TAI.
1.
Hasil penelitian yang dilakukan Hafid (2012)
yang membandingkan perbedaan hasil belajar menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe TAI dan model pembelajaran langsung dengan hasil pelaksanaan
pembelajaran dengan model kooperatif hasilnya lebih baik dibandingkan model
pembelajaran langsung.
2. Hasil penelitian yang dilakukan Farikah (2011)
yang membandingkan pengaruh hasil belajar matematika pada materi faktorisasi
suku aljabar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dan pembelajaran
konvensional dengan hasil pelaksanaan pembelajaran dengan model kooperatif tipe
TAI hasilnya lebih baik dibandingkan pembelajaran konvensional.
3. Hasil penelitian yang dilakukan Ratri (2012)
yang membandingkan perbedaan hasil belajar menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe TAI dan model pembelajaran langsung pada standar kompetensi
merawat peralatan rumah tangga listrik dengan hasil pelaksanaan pembelajaran
dengan model kooperatif hasilnya lebih baik dibandingkan model pembelajaran
langsung.
C.
Kerangka Berpikir
Berdasarkan
rumusan masalah, landasan teori dan kerangka berpikir penelitian di atas maka
terdapat tiga kerangka berpikir yang diajukan, yaitu:
1.
Pengaruh penggunaan model
pembelajaran langsung dan
model pembelajaran kooperatif tipe TAI terhadap
hasil
belajar dasar dan pengukuran listrik
Dalam
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI),
setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari bagian yang telah
diberikan kepadanya. Setiap anggota kelompok diberi tugas untuk menjadi seorang
pakar dalam beberapa aspek yang bersumber dari bahan bacaan tersebut. Dari
masing-masing pakar berusaha mendiskusikan bahan bacaan tersebut kemudian
mengajarkan kepada anggota kelompoknya. Satu-satunya cara siswa dapat belajar
sub-bab lain selain dari subbab yang mereka pelajari adalah dengan
mendengarkan secara sungguh-sungguh terhadap penjelasan teman satu kelompok
mereka. Keberhasilan
kelompok diyakini bergantung pada adanya saling ketergantungan anggota kelompok
dan pembagian tugas. Setelah selesai pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa
dikenai kuis secara individu tentang materi pelajaran.
Adapun kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe TAI,
yaitu: (a) Setiap anggota dapat saling melengkapi dan membantu menyelesaikan setiap
materi yang diterima, (b) anggota kelompok memiliki pemikiran yang berbeda-beda
sehingga pemikirannya menjadi luas dan mampu melihat dari sudut pandang lain
untuk melengkapi jawaban yang lain, (c) Peseta didik dapat lebih mudah memahami
materi yang disampaikan karena bekerja sama dengan teman-temannya, (d) memupuk
rasa pertemanan dan solidaritas sehinnga diantara anggotanya akan terjadi
hubunganyang positif, (e) setiap kelompok merasa memiliki tanggung jawab
bersama untuk membuat anggota lain memahami materi.
Sedangkan kekurangan dari model pembelajaran kooperatif tipe
TAI, yaitu: (a) Terdapat anggota yang lebih mendominasi kelompok dan aday yang
hanya diam, sehingga pembagian tugas tidak merata, (b) apabila kelompoknya
tidak dapat bekerja sama dengan baik maka akan terjadi perselisihan karena
adanya berbagai perbedaan yang dapat menyebabkan perselisihan, (c) sebagian
pengetahuan didapat dari teman dan yang menerangkan, maka terkadang sulit untuk
dimengerti, (d) pembelajaran memerlukanwaktu yang cukup lama sebab harus saling
berdiskusi bersama teman-teman lain untuk menyatukan pendapat dan pandangan
yang dianggap benar.
Pada model pembelajaran lain yang digunakan peneliti dalam
penelitian ini adalah model pembelajaran langsung. Model pembelajaran langsung
merupakan suatu pendekatan mengajar yang dapat membatu siswa mempelajari
keterampilan dasar dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi
selangkah. Adapun beberapa kelebihan dalam model pembelajaran langsung,
yaitu: (a) guru menguasai kelas, (b) dapat diikuti oleh jumlah siswa yang
besar, (c) mudah mempersiapkan dan melaksanakannya, (d) mudah mengorganisasikan
tempat duduk/kelas.
Namun kekurangan model pembelajaran langsung, yaitu: (a)
membosankan bagi peserta didik, (b) menyebabkan siswa menjadi pasif, (c) mudah/cepat lupa, (d) kurang merangsang kreativitas siswa, (e)
sulit mengetahui apakah siswa mengerti/tidak, (f) bersifat verbalisme.
Berdasarkan
kelebihan dan kekurangan masing-masing model pembelajaran, apabila dihubungkan
dengan mata pelajaran Dasar dan Pengukuran Listrik, maka diduga model
pembelajaran kooperatif tipe Team
Assisted Individualization (TAI) lebih tepat digunakan pada mata pelajaran
tersebut karena mata pelajaran Dasar dan Pengukuran Listrik merupakan pelajaran
Produktif.
Hal
tersebut dikarenakan adanya tanggung awab bersama yang diemban oleh setiap
kelompok agar seluruh anggota kelompok tersebut dapat memahami matei ajar. Sehingga
komunikasi antar siswa lebih intensif dan materi lebih mudah dampai pada siswa
yang dianggap memiliki kemampuan rendah. Untuk mengatasi kelemahan model
pembelajaran kooperatif tipe TAI ini guru harus mengarahkan setiap kelompok
agar dapat berkordinasi dengan baik.
2.
Pengaruh antara motivasi
berprestasi siswa terhadap hasil
belajar dasar dan pengukuran listrik
Salah satu faktor
yang mempengaruhi hasil belajar siswa adalah motivasi. Dengan adanya motivasi,
siswa akan belajar lebih keras, ulet, tekun dan memiliki dan memiliki
konsentrasi penuh dalam proses belajar pembelajaran. Sedangkan motivasi berprestasi merupakan
dorongan yang berhubungan dengan prestasi, yaitu: 1)
menguasai, 2)
memanipulasi atau
mengorganisir lingkungan sosial maupun fisik, 3) mengatasi
rintangan-rintangan dan memelihara kualitas kerja yang tinggi, dan 4) bersaing
dengan ukuran keunggulan. Motivasi berprestasi yang dimiliki
siswa dalam setiap kegiatan pembelajaran sangat berperan untuk meningkatkan
hasil belajar siswa. Siswa yang bermotivasi tinggi dalam belajar memungkinkan
akan memperoleh hasil belajar yang tinggi pula, artinya semakin tinggi
motivasinya, semakin intensitas usaha dan upaya yang dilakukan, maka semakin
tinggi prestasi belajar yang diperolehnya, sebaliknya apabila motivasi belajar
rendah atau tiadanya motivasi belajar akan melemahkan kegiatan, sehingga
memungkinkan hasil belajar akan rendah pula.
Berdasarkan uraian tersebut,
diduga hasil belajar siswa yang bermotivasi tinggi lebih tinggi daripada hasil
belajar siswa yangbermotivasi rendah.
3.
Interaksi
antara penggunaan model pembelajaran dan motivasi berprestasi siswa terhadap hasil belajar.
Motivasi
berprestasi siswa yang tinggi akan lebih siap dan sanggup untuk mengikuti
pelajaran berikutnya dan diharapkan akan mencapai hasil belajar yang lebih tinggi. Namun jika pembelajaran dengan menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe TAI
serta motivasi berprestasi siswa disertakan dalam mendesain proses
pembelajaran, ada dugaan bahwa terdapat interaksi pengaruh terhadap pencapaian hasil belajar siswa.
Penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe TAI dengan mempertimbangkan motivasi berprestasi siswa akan dapat
mengoptimalkan siswa dalam
mencapai prestasi. Dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI
siswa lebih prospektif tentang belajar dan perspektif tentang kerja sama. Siswa
dapat mengembangkan pemahaman dan penghayatan akan prinsip-prinsip dan
nilai-nilai ilmiah dalam rangka menumbuhkan daya nalar, cara berfikir logis,
sistematis dan kreatif, kecerdasan serta sikap kritis, terbuka dan rasa ingin
tahu.
Pembelajaran
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI
disertai motivasi berprestasi siswa yang tinggi akan lebih memudahkan siswa belajar
dan berinteraksi lebih positif sehingga akan mampu meningkatkan hasil
belajarnya. Sedangkan pada siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah akan
terbantu dengan siswa lain yang memiliki motivasi berprestasi tinggi untuk
mencapai hasil belajar yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan model
pembelajaran kooperatif tipe TAI mengandalkan kerja sama tim sehingga mampu menciptakan kegiatan belajar yang menyenangkan.
Penggunaan
model pembelajaran langsung pada siswa dengan motivasi berprestasi tinggi
diduga akan menghasilkan hasil belajar tinggi. Hal ini disebabkan karena siswa
yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan memiliki semangat dan kemauan yang
lebih dari pada siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah. Sedangkan
model pembelajaran langsung yang diterapakan pada siswa yang memiliki motivasi
berprestasi rendah diduga hasil belajarnya lebih rendah. Hal ini disebakan
siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah cenderung untuk mengalami
kebosanan dan membutuhkan suntikan motivasi lain yang dapat meningkatkan
semangat dan motivasi belajarnya.
D.
Rumusan
Hipotesis
1.
Hasil belajar siswa yang dibelajarkan
dengan model pembelajaran kooperatif tipe TAI lebih tinggi daripada hasil belajar siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran langsung pada mata pelajaran dasar dan pengukuran listrik
2.
Hasil belajar siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi lebih tinggi daripada hasil belajar siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah pada mata pelajaran dasar dan
pengukuran listrik
3.
Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan motivasi berprestasi terhadap hasil
belajar siswa pada mata pelajaran dasar dan pengukuran listrik?
BAB III
METODE
PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan
dengan metode quasi eksperimen dengan harapan
banyak memberikan manfaat terutama untuk menentukan model pembelajaran dalam suatu
proses pembelajaran.
Alasan penggunaan metode quasi
eksperimen dalam kelompok tersebut adalah masih banyak variabel dalam kelompok
yang belum bisa dikontrol oleh peneliti. Kelompok
dalam sampel penelitian adalah kelompok
kelas yang sudah terbentuk sesuai dengan pembagian menjadi kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas
eksperimen adalah kelas yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran
langsung, sedangkan kelas kontrol adalah kelas yang dibelajarkan dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI.
Rancangan eksperimen yang digunakan penelitian ini dengan desain faktorial 2x2,
mempunyai dua variabel bebas dan satu variabel terikat. Variabel bebas pertama
(variabel perlakuan) adalah model pembelajaran, variabel bebas kedua (variabel
atribut) adalah motivasi berprestasi, sedang variabel terikat adalah hasil
belajar.
Variabel bebas terdiri
dari Model Pembelajaran Langsung (MPL) (A1) dan model pembelajaran kooperatif tipe Team
Assisted Individualization (TAI) (A2). Variabel moderator terdiri
dari motivasi berprestasi rendah (B1) dan motivasi berprestasi tinggi (B2). Tabel
3.1 menunjukkan rancangan eksperimen dengan desain
faktorial 2x2.
Tabel 3.2. Desain
Faktorial 2x2
|
Model pembelajaran
|
||
MPL
(A1)
|
TAI
(A2)
|
||
Motivasi berprestasi
|
Rendah (B1)
|
16
|
16
|
Tinggi (B2)
|
16
|
16
|
|
TOTAL
|
|
32
|
32
|
Sumber: Dantes (2012: 100)
B. Variabel-Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1.
Variabel Penelitian
Penelitian
ini melibatkan bebarapa variabel yang dapat dikelompokkan sebagai berikut.
a.
Variabel bebas
Variabel
bebas merupakan variabel yang dalam penelitian ini tidak
tergantung pada nilai variabel lain. Variabel bebas dalam penelitian ini adala
model pembelajaran yang diterapkan kepada siswa. Model pembelajaran yang
pertama adalah model pembelajaran kooperatif tipe TAI yang diterapkan pada
kelompok kelas eksperimen. Model pembelajan yang kedua adalah model
pembelajaran langsung yang diterapkan pada kelompok kelas kontrol.
b.
Variabel terikat
Variabel
terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat, karena adanya
variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah hasil belajar
siswa.
c.
Variabel moderator
Variabel
moderator merupakan variabel yang dianggap berpengaruh terhadap variabel
terikat, tetapi dianggap tidak mempunyai pengaruh utama. Variabel moderator
dalam penelitian ini adalah motivasi berprestasi.
2.
Definisi Operasional Variabel
a.
Definisi operasional variabel bebas
1)
Model pembelajaran langsung akan diterapkan pada kelas kontrol. Model langsung adalah salah satu pendekatan mengajar
yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan
dengan pengetahuan deklaratif dan pegetahuan prosedural yang terstruktur dengan
baik. Adapun fase dalam pembelajaran langsung, yaitu: a) menyampaikan
tujuan dan mempersiapkan siswa, b) mendemonstrasikan
pengetahuan dan keterampilan, c) membimbing
pelatihan, d) mengecek pemahaman dan memberikan
umpan balik, dan e) memberikan kesempatan pelatihan
lanjutan dan penerapan memberikan kesempatan pelatihan lanjutan dan penerapan.
2) Model pembelajaran kooperatif tipe Team
Assisted Individualization (TAI) diterapkan pada kelas eksperimen. Model
pembelajaran ini merupakan pengembangan kodel pembelajaran kooperatif yang
mengombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan individual. Dalam model
ini terdapat komponen penting, yaitu: teams, yaitu teams,
placement test, creative, team study, team scores and
team recognition, teaching group, facts test, whole class
units. Adapun sintaks dalam model
pembelajajaran kooperatif tipe TAI, yaitu: a) menyampaikan tujuan dan establishing set, b) mempresentasikan informasi, c)
mengorganisasikan siswa ke dalam tim-tim belajar, d) membantu kerja tim dan belajar, e) mengujikan berbagai materi, dan f) memberikan penghargaan.
b.
Definisi operasional variabel terikat
Definisi operasional hasil belajar pada penelitian ini adalah hasil yang
dicapai oleh siswa melalui proses pembelajaran yang
dapat diukur melalui posttest (kognitif) dan
pengamatan
(afektif dan psikomotor). Adapun pencapaian
hasil belajar yang diukur yaitu mencakup bidang kognitif, yaitu meliputi: aspek pengetahuan (C1), aspek pemahaman
(C2), aspek penerapan (C3), aspek analisis (C4), aspek evaluasi (C5), dan aspek penciptaan (C6). Hasil belajar
afektif diperoleh dari hasil pengamatan sikap siswa selama proses pembelajaran. Sikap yang diamati meliputi: bekerjasama, saling menghargai,
jujur, dan
bertanggungjawab.
Sedangkan hasil belajar psikomotor diperoleh dari hasil pengamatan pada siswa
selama proses praktikum dan merupakan penilaian kinerja siswa selama mengikuti
praktikum. Kinerja yang diamati meliputi:
: mengaktifkan program
PheT, membuat rangkaian
sesuai dengan gambar,
memasang sebuah Amperemeter untuk
mengukur besar arus yang mengalir, menjalankan
simulasi rangkaian, menambah
jumlah variabel manipulasi kemudian mengamati dan mencatat penunjukkan
Amperemeter, dan mengulangi
langkah sebelumnya dengan mengganti nilai variabel manipulasi sebanyak 5 kali.
c.
Definisi operasional variabel moderator
Definisi motivasi berprestasi siswa pada
penelitian ini adalah diukur dengan menggunakan angket motivasi berprestasi.
Setelah itu dikelompokkan menjadi dua macam yaitu motivasi berprestasi tinggi
dan motivasi rendah, tidak dimanipulasi secara eksperimental, tetapi dimasukkan
dalam desain penelitian. Motivasi berprestasi merupakan dorongan siswa untuk
bersaing dalam upaya mencapai standar keunggulan, mencapai hasil yang sebaik-
baiknya dalam mencapai tujuan. Beberapa indikator motivasi berprestasi adalah
keinginan mencapai hasil yang optimal, yaitu:
a) dorongan untuk selalu maju dalam menekuni pelajaran dasar dan pengukuran listrik, b) dorongan untuk selalu mendapat nilai
baik, c) dorongan untuk menyelesaikan tugas-tugas pelajaran dasar dan pengukuran listrik, dan d) kesungguhan siswa dalam merespon
mata pelajaran dasar
dan pengukuran listrik.
Indikator yang kedua adalah keinginan untuk meningkatkan pengetahuan, yaitu: a) dorongan untuk membaca dan mengerjakan
soal-soal, b) dorongan untuk mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang belum
jelas, dan c) dorongan
untuk membaca buku baru. Sedangkan indikator yang ketiga adalah rasa percaya
diri dan kepuasan, yaitu:
a) dorongan untuk menguasai materi materi pembelajaran secara mandiri, b)
memiliki kepuasan dalam mengikuti proses pembelajaran, c) adanya keinginan
umpan balik dalam pembelajaran.
C.
Tempat dan Waktu
Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di SMK Negeri 7 Surabaya pada siswa kelas X Teknik Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik (TIPTL) tahun ajaran
2013/2014. Waktu penelitian dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2013/2014.
D. Prosedur Penelitian
Prosedur
penelitian yang direncanakan meliputi:
1.
Tahap
persiapan pembelajaran meliputi:
a.
Survei
dan wawancara.
b.
Menyusun proposal penelitian, menyusun
instrumen penelitian.
c.
Menyusun perangkat pembelajaran.
d.
Validasi perangkat dan instrumen
2.
Tahap
pelaksanaan pembelajaran meliputi :
a.
Mengukur
motivasi berprestasi siswa sebelum proses pembelajaran.
b.
Kegiatan
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dan model pembelajaran langsung (MPL).
c.
Eksperimen
dilaksanakan selama 4 kali pertemuan atau 8 jam pelajaran. Pada model
pembelajaran kooperatif tipe TAI meliputi langkah-langkah apersepsi dan motivasi,
penjelasan materi, pembentukan kelompok, pembentukan kelompok ahli, diskusi kelompok
ahli, diskusi kelompok asal, presentasi kelompok, kuis. Sedangkan pada Model Pembelajaran
Langsung (MPL) siswa diajar dengan metode ceramah yang meliputi
penjelasan materi dan tanya jawab.
d.
Tahap
pasca eksperimen merupakan langkah terakhir setelah diberikan perlakuan maka kedua kelompok diberi tes akhir.
3. Tahap penyajian hasil penelitian.
Pada
tahap ini yang dilakukan peneliti adalah menganalisis data yang diperoleh dari
hasil penelitian dan menyusun laporan penelitian.
E. Populasi dan Sampel
4.
Populasi penelitian ini adala siswa TIPTL SMK Negeri 7 Surabaya
5.
Sampel kelas yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kelas X TIPTL SMK. Dalam penelitian ini menggunakan 2 kelas, yaitu kelas
pertama adalah kelas kontrol dan kelas kedua adalah kelas eksperimen. Dalam hal
ini kelas diambil secara acak dari jumlah 3 kelas yaitu X TIPTL-1, X TIPTL-2
dan X TIPTL-3. Teknik pengambilan sampel dilakukan menggunakan teknik simple random sampling.
F.
Instrumen Penelitian
Penyusunan
instrumen dalam penelitian ini mengacu pada dimensi dan indikator hasil belajar siswa kelas X TIPTL SMK Negeri 7 Surabaya. Instrumen
penelitian adalah alat yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data
agar pekerjaanya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat,
lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah (Arikunto, 2010: 203). Adapun
instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ada 3 buah instrumen
yang digunakan yaitu: (1) lembar validasi; (2) lembar angket motivasi
berprestasi; dan (3) lembar penilaian
hasil belajar afektif, dan psikomotor. Instrumen yang digunakan untuk
memperoleh data dalam penelitian ini ada 3 macam, yaitu:
1.
Lembar validasi
Lembar validasi digunakan
untuk mengukur efektivitas atau ketepatan instrumen yang digunakan dalam suatu
penelitian (Sugiyono, 2008: 129). Dalam penelitian ini yang instrumen yang
divalidasi sebelum diujicobakan adalah perangkat pembelajaran dan soal posttest. Adapun perangkat pembelajaran
penelitian ini adalah silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar
Kerja Siswa (LKS), buku siswa. Adapun perangkat pembelajaran yang divalidasi
ahli adalah RPP dan buku siswa. Sedangkan untuk soal posttest divalidasi oleh
ahli materi. Dalam penelitian ini uji validitas digunakan untuk menguji sejauh
mana perangkat pembelajaran yang dikembangkan dapat digunakan sebagai salah
satu media pembelajaran, sehingga dapat diketahui tingkat kebenaran dan
ketepatan penggunaan perangkat pembelajaran tersebut Kisi-kisi yang digunakan untuk uji validitas yang
meliputi lembar lembar validasi RPP, lembar validasi buku siswa, dan lembar validasi soal posttest.
a. Lembar validasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Rencana pelaksanaan
pembelajaran, yaitu panduan langkah-langkah yang akan
dilakukan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran yang disusun dalam skenario
kegiatan. Pada
penelitian ini peneliti membuat RPP pada setiap tatap muka dengan tujuan agar
kegiatan pembelajaran bersifat sistematis sehingga perlu adanya validasi oleh
ahli perangkat pembelajaran. Tabel
3.3 merupakan
lembar validasi rencana pelaksanaan
pembelajaran.
Tabel 3.3. Lembar
validasi rencana pelaksanaan pembelajaran
Faktor/Aspek
|
Indikator
|
Jumlah pertanyaan
|
Nomor Pertanyaan
|
|
|
||
1.
Kompetensi Dasar
|
Kesesuaian
rumusan kompetensi dasar dengan silabus yang sudah ada.
|
1
|
1a
|
Kesesuaian kompetensi dasar dengan perkembangan siswa
|
1
|
1b
|
|
2.
Indikator
|
Kesesuaian
indikator dengan kompetensi
dasar yang sudah ada.
|
1
|
2a
|
Kesesuaian rumusan pencapaian hasil belajar
|
1
|
2b
|
|
3.
Tujuan Pembelajaran
|
Tujuan pembelajaran sesuai dengan indikator yang ada.
|
1
|
3
|
4. Materi pembelajaran
|
Relevansi materi dengan kompetensi dasar pembelajaran.
|
1
|
4a
|
Urutan penyajian materi dikelompokkan dalam
bagian-bagian yang logis (keterkaitan topik, sub topik, dan penyajian
sistematis).
|
1
|
4b
|
|
Kesesuaian tugas/latihan soal yang mendukung konsep.
|
1
|
4c
|
|
5.
Alokasi Waktu
|
Kesesuaian alokasi waktu dengan cakupan materi.
|
1
|
5
|
6.
Sumber & sarana belajar
|
Kesesuaian dengan kompetensi
yang ingin dicapai.
|
1
|
6a
|
Kesesuaian LP 1 dengan tujuan pembelajaran.
|
1
|
6b
|
|
Kesesuaian LP 2 dengan tujuan pembelajaran.
|
1
|
6c
|
|
Kesesuaian LP 3
dengan tujuan pembelajaran.
|
1
|
6d
|
|
Kesesuaian LP 4
dengan tujuan pembelajaran.
|
1
|
6e
|
|
Kesesuaian LP 5
dengan tujuan pembelajaran.
|
1
|
6f
|
|
Kesesuaian format penilaian dengan tujuan
pembelajaran.
|
1
|
6g
|
|
7.
Kegiatan Belajar Mengajar
|
Kesesuaian
langkah pembelajaran dengan
metode pembelajaran.
|
1
|
7a
|
Ketepatan metode pembelajaran dengan KD.
|
1
|
7b
|
|
8.
Bahasa
|
Kebenaran tata bahasa yang digunakan, sesuai dengan
kaidah bahasa Indonesia yang baku.
|
1
|
8a
|
Bahasa
sesuai EYD.
|
1
|
8b
|
|
Kesederhanaan struktur kalimat.
|
1
|
8c
|
|
Sifat komunikatif bahasa yang digunakan.
|
1
|
8d
|
|
9.
Format
|
Kejelasan pembagian materi.
|
1
|
9a
|
Kesesuaian jenis dan ukuran huruf yang digunakan.
|
1
|
9b
|
Catatan: Instrumen ini diadaptasikan dari Arif,
2012.
b. Lembar validasi buku siswa
Buku ini
berisi uraian materi yang mendukung lembar kegiatan siswa tentang menganalisis rangkaian
listrik arus bolak balik. Buku
siswa perlu divalidasi oleh ahli materi rangkaian listrik karena kesesuaian
materi tersebut akan mempengaruhi asil belajar. Tabel 3.4 berikut merupakan
lembar validasi buku siswa.
Tabel 3.4. Lembar validasi buku siswa
Faktor/Aspek
|
Indikator
|
Jumlah
Pertanyaan
|
Nomor Pertanyaan
|
1.
Perwajahan dan tata letak
|
Wajah sampul buku siswa memiliki daya tarik.
|
1
|
1a
|
Gambar sampul
menggambarkan isi modul.
|
1
|
1b
|
|
Huruf dan gambar
ditata dengan baik dan rapi.
|
1
|
1c
|
|
2.
Materi buku siswa
|
Teks buku siswa dapat terbaca.
|
1
|
2a
|
Materi yang disajikan sesuai dengan tingkat
pikir siswa.
|
1
|
2b
|
|
Tingkat kebenaran konsep materi dalam buku siswa.
|
1
|
2c
|
|
Teks dan gambar saling terkait.
|
1
|
2d
|
|
Obyek gambar sesuai materi.
|
1
|
2e
|
|
Obyek gambar jelas atau tidak kabur.
|
1
|
2f
|
|
Informasi pada buku siswa cukup memadai.
|
1
|
2g
|
|
3.
Bahasa
|
Bahasa mudah
dipahami.
|
1
|
3a
|
Bahasa sesuai
EYD.
|
1
|
3b
|
|
Sifat komunikatif bahasa yang digunakan
|
1
|
3c
|
Catatan: Instrumen ini diadaptasikan dari Arif,
2012.
c. Lembar validasi soal posttest
Soal posttest merpakan bagian penting dalam penelitian
ini karena sebagai instrumen untuk mengukur hasil belajar kognitif siswa
sehingga, soal tersebut sebelum diujikan perlu di validasi oleh ahli evaluasi.
Adapun lembar validasi soal posttest ditunjukkan pada Tabel 3.5 berikut ini.
Tabel 3.5. Lembar
validasi soal posttest
Faktor/Aspek
|
Indikator
|
Jumlah
pertanyaan
|
Nomor
pertanyaan
|
|
|
||
1. Materi
|
Soal sesuai dengan indikator yang ada
|
1
|
1a
|
Materi yang ditanyakan sesuai dengan kompetensi
|
1
|
1b
|
|
Huruf dan gambar ditata dengan baik dan rapi.
|
1
|
1c
|
|
Tingkat kesulitan soal
|
1
|
1d
|
|
2.
Konstruksi
|
Soal dirumuskan dengan singkat, jelas,
dan tegas.
|
1
|
2a
|
Rumusan pokok soal dan pilihan jawaban
merupakan pernyataan yang diperlukan saja.
|
1
|
2b
|
|
Soal tidak memberi petunjuk kunci
jawaban.
|
1
|
2c
|
|
Pilihan jawaban homogen dan logis
ditinjau dari segi materi.
|
1
|
2d
|
|
Gambar jelas dan berfungsi.
|
1
|
2e
|
|
Panjang pilihan jawaban relatif sama.
|
1
|
2f
|
|
3.
Bahasa
|
Menggunakan bahasa yang sesuai dengan
kaidah bahasa Indonesia
|
1
|
3a
|
Menggunakan bahasa yang komutatif.
|
1
|
3b
|
Catatan: Instrumen ini diadaptasikan dari Arif,
2012.
2. Instrumen variabel motivasi berprestasi
Instrumen variabel motivasi berprestasi merupakan
instrumen yang diguanakan untuk mengetahi tingkat motivasi berprestasi siswa
terhadap mata pelajaran dasar dan pengukuran listrik. Pengumpulan data yang motivasi
berprestasi menggunakan
teknik angket, yaitu angket motivasi berprestasi pada mata pelajaran dasar dan pengukuran listrik. Instrumen angket berbentuk skala karena
skala merupakan seperangkat nilai angka yang telah ditetapkan kepada tingkah
laku untuk mengukur motivasi berprestasi siswa pada mata pelajaran dasar dan
pengukuran listrik.
Motivasi
berprestasi siswa terhadap mata pelajaran dasar dan pengukuran listrik merupakan skor yang diperoleh
siswa setelah siswa mengisi angket motivasi berprestasi yang berbentuk skala dengan
rentangan angka 1 sampai 5.
Untuk
kisi-kisi angket motivasi berprestasi siswa pada mata pelajaran dasar dan
pengukuran listrik disusun berdasarkan indikator-indikator pada kajian teori. Tabel
3.6 merupakan Kisi-kisi penyusunan angket
motivasi berprestasi.
Tabel 3.6. Kisi-kisi
penyusunan angket motivasi berprestasi
No
|
Aspek yang diukur
|
Indikator Motivasi
|
Komponen sikap
|
Total
(%)
|
|
Positif
|
Negatif
|
||||
1
|
Keinginan mencapai hasil yang optimal
|
1.
Dorongan untuk selalu maju dalam menekuni pelajaran.
2. Dorongan untuk selalu mendapatkan nilai baik.
3.
Dorongan untuk menyelesaikan tugas- tugas dasar dan
pengukuran listrik.
4. Kesanggupan siswa dalam merespon mata
pelajaran dasar dan pengukuran listrik.
|
|
|
|
2
|
Keinginan untuk meningkatkan pengetahuan
|
1.
Dorongan untuk membaca dan mengerjakan soal-soal dasar
dan pengukuran listrik.
2.
Dorongan untuk mengajukan pertanyaan tentang hal-hal
yang belum jelas.
3.
Dorongan untuk membaca buku baru.
|
|
|
|
3
|
Rasa percaya diri dan kepuasan
|
1.
Dorongan untuk menguasai materi pembelajaran secara
mandiri.
2. Mengikuti kepuasan
dalam mengikuti proses pembelajaran.
3. Adanya keinginan umpan
balik dalam pembelajaran.
|
|
|
|
Total
(%)
|
25
(50%)
|
25
(50%)
|
50
(100%)
|
Catatan: Instrumen ini
diadaptasikan dari Afifuddin, 2012.
3. Lembar penilaian hasil belajar
Lembar instrumen penilaian hasil belajar digunakan untuk
mengetahui hasil belajar siswa pada mata pelajaran
dasar dan pengukuran listrik. Adapun lembar penilaian hasil belajar yang dibutuhkan
mencakup tiga ranah hasil belajar, yaitu:
a.
Lembar tes hasil belajar kognitif
Metode
yang digunakan untuk pengumpulan data pada hasil belajar kognitif adalah metode tes. Metode tes digunakan untuk
mengumpulkan data dan mengukur penguasaan materi menganalisis rangkaian listrik
arus bolak balik. Tes disusun sesuai dengan mata pelajaran dasar dan pengukuran
listrik pada kurikulum 2013 yang dibelajarkan pada siswa kelas X program studi
keahlian Teknik Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik (TIPTL). Bentuk tes adalah obyektif atau
pilihan ganda. Pemberian skor dilakukan dengan pemberian skor 1 jika jawaban
benar dan diberikan skor 0 jika jawaban salah.
b.
Lembar pengamatan hasil belajar afektif
Hasil belajar afektif diperoleh dari hasil pengamatan pada siswa selama proses pembelajaran
dan merupakan penilaian sikap siswa di dalam kelas. Sikap yang diamati
meliputi: bekerjasama,
saling menghargai, jujur dan bertanggung jawab. Tabel 3.7 di bawah ini adalah lembar penilaian pengamatan yang berisi sejumlah kriteria sikap untuk memperoleh data
penilaian ranah afektif siswa.
Tabel 3.7. Kisi-kisi penilaian
hasil belajar
ranah afektif
No
|
Faktor/Aspek
|
Nomor pertanyaan
|
Jumlah pertanyaan
|
1
|
Bekerjasama
|
1
|
1
|
2
|
Saling
menghargai
|
2
|
1
|
3
|
Jujur
|
3
|
1
|
4
|
Bertanggung jawab
|
4
|
1
|
c.
Lembar pengamatan hasil belajar psikomotor
Hasil belajar psikomotor
diperoleh dari hasil pengamatan siswa
selama proses praktikum dan merupakan penilaian kinerja siswa selama mengikuti
praktikum. Kinerja yang
diamati adalah meliputi
merangkai percobaan, kerapian rangkaian, ketepatan menggunakan alat sesuai
fungsinya, ketepatan waktu
mengerjakan dan keberhasilan percobaan. Tabel 3.8 di bawah ini adalah lembar penilaian pengamatan yang berisi sejumlah kriteria kinerja untuk memperoleh data
penilaian ranah psikomotor siswa.
Tabel
3.8.
Kisi-kisi penilaian hasil belajar
ranah psikomotor
No
|
Faktor/Aspek
|
Nomor pertanyaan
|
Jumlah pertanyaan
|
1
|
Mengaktifkan
program
|
1
|
1
|
2
|
Membuat
rangkaian sesuai dengan Gambar
|
2
|
1
|
3
|
Memasang
sebuah Amperemeter untuk mengukur besar arus yang mengalir.
|
3
|
1
|
4
|
Menjalankan
simulasi rangkaian.
|
4
|
1
|
5
|
Menambah jumlah variabel manipulasi kemudian mengamati dan mencatat
penunjukkan Amperemeter
|
5
|
1
|
6
|
Mengulangi
langkah 5 dengan mengganti nilai variabel
manipulasi sebanyak 5 kali.
|
6
|
1
|
G. Tahap Analisis Instrumen
Instrumen penelitian
adalah alat yang digunakan dalam mengumpulkan data agar pekerjaan mengumpulkan
data tersebut lebih mudah dengan hasil yang baik serta data lebih mudah diolah (Arikunto, 2010: 203). Analisis instrumen ini digunakan untuk
menganalisis butir soal, dan validasi perangkat pembelajaran.
1. Analisis
Validitas Perangkat Pembelajaran
Kualitas perangkat pembelajaran dianalisis berdasarkan hasil validasi
para ahli perangkat pembelajaran, pada masing-masing lembar validasi perangkat pembelajaran, validator
menuliskan kategori penilaian dan tanggapan sebagai berikut:
Nilai 1 =
sangat tidak baik
Nilai 2 =
tidak baik
Nilai 3 =
cukup baik
Nilai 4 =
baik
Nilai 5 =
sangat baik
Untuk menganalisis jawaban validator digunakan statistika deskriptif
hasil rating yang diuraikan sebagai berikut:
a.
Penentuan
ukuran penilaian beserta bobot nilainya. Penentuannya dapat dilihat pada Tabel
3.9 di bawah ini.
Tabel
3.9.
Ukuran Penilaian Beserta Bobot Nilai Validasi
Penilaian Kualitatif
|
Bobot Nilai
|
Interpretasi
|
Sangat
baik
|
5
|
84 – 100
|
Baik
|
4
|
68 – 83
|
Cukup
Baik
|
3
|
52 – 67
|
Kurang
Baik
|
2
|
36 – 51
|
Tidak
Baik
|
1
|
20 – 35
|
Sumber: Riduwan (2006)
b.
Menentukan
nilai tertinggi validator/responden
Penentuannya adalah banyaknya validator dikalikan bobot nilai
tertinggi pada penilaian kuantitatif. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut
max
Keterangan:
n =
banyaknya validator
i = bobot nilai kuantitatif (1-5)
c.
Menentukan
jumlah jawaban validator
Cara menentukan jumlah validator adalah dengan mengkalikan jumlah
validator pada tiap-tiap penilaian kuantitatif dengan bobot nilainya, kemudian
menjumlahkan semua hasilnya. Rumus yang digunakan adalah:
Keterangan:
ni = banyak validator yang memilih i
i = bobot nilai (1-5)
d.
Hasil
Rating
Setelah melakukan penjumlahan jawaban validator, langkah berikutnya
adalah menentukan hasil rating dengan rumus sebagai berikut
Keterangan:
n = banyaknya validator/responden
ni = banyaknya validator/responden yang memiliki
nilai i
i = bobot nilai kuantitatif (1-5)
imax = nilai maksmimal
Dari hasil
analisis validitas dapat disimpulkan bahwa perangkat tersebut dianggap layak
atau tidak menggunakan standar penilaian sesuai dengan modifikasi skala likert.
2. Analisis
Butir Soal
Instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan
penting yaitu valid dan reliabel. Validitas
adalah suatu ukuran yang menunjukkan
tingkat-tingkat
kevalidan atau kesahihan suatu instrumen (Arikunto, 2001: 65). Suatu instrumen
yang valid atau sahih mempunyai validitas tinggi, sebaliknya instrumen yang
kurang valid berarti memiliki validitas rendah.
Dalam penelitian ini butir soal diujicobakan pada kelas
XI TITL sebelum digunakan sebagai posttest untuk mengetahui reliabilitas butir soal, taraf kesukaran
butir soal, dan daya beda butir soal. Butir soal tersebut di analisis
menggunakan software ITEMAN 3.00.
Kriteria pengujian diklasifikasikan sebagai berikut:
a.
Taraf
kesukaran butir soal diklasifikasikan sebagai berikut.
1)
Sukar jika
2)
Sedang jika
3)
Mudah jika
b.
Daya
beda butir soal diklasifikasikan sebagai berikut.
1)
Antara
0,00 sampai dengan 0,20 : daya
pembeda lemah
2)
Antara
0,21 sampai dengan 0,40 : daya
pembeda sedang
3)
Antara
0,41 sampai dengan 0,70 : daya
pembeda baik
4)
Antara
0,71 sampai dengan 1,00 : daya
pembeda sangat kuat
c.
Reliabilitas
butir soal diklasifikasikan sebagai berikut.
1)
Antara
0,800 sampai dengan 1,00 : sangat
tinggi
2)
Antara
0,600 sampai dengan 0,800 : tinggi
3)
Antara
0,400 sampai dengan 0,600 : cukup
4)
Antara
0,200 sampai dengan 0,400 : rendah
5)
Antara
0,00 sampai dengan 0,200 : sangat
rendah
H.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan
data merupakan pekerjaan yang penting sekali dalam penelitian Arikunto (2010: 266).
Dengan adanya data-data itulah peneliti menganalisisnya untuk kemudian dibahas
dan disimpulkan dengan panduan serta referensi-referensi yang berhubungan
dengan penelitian tersebut. Dalam penelitian ini digunakan beberapa metode
pengambilan data yaitu 1) tes; 2) angket; 3) wawancara; 4) pengamatan, dan 5)
dokumentasi.
I. Teknik
Analisis Data
1. Analisis Hasil Belajar
Hasil belajar siswa pada
penelitian ini meliputi penilaian dari ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah
psikomotorik. Penilaian ranah kognitif diperoleh dari nilai evaluasi (postest) yang di diberikan setelah
proses pembelajaran. Sedangkan penilaian ranah afektif dan psikomotorik
diperoleh dari hasil pengamatan oleh pengamat.
a.
Hasil belajar kognitif
Analisis
hasil belajar siswa pada ranah kognitif yang diperoleh dari nilai evaluasi (posttest) ini perlu dilakukan dengan
tujuan untuk menentukan ketuntasan belajar siswa baik ketuntasan secara
individual maupun ketuntasan secara klasikal. Ketuntasan individu diperoleh
dari nilai siswa dengan perhitungan,
Secara
individual siswa dikatakan tuntas jika siswa telah mencapai nilai uji
kompetensi ≥ 76.
Sedangkan
ketuntasan klasikal diperolah dengan menggunakan perhitungan berikut
Secara
klasikal suatu kelas dikatakan tuntas jika 85% siswa mencapai nilai uji
kompetensi ≥ 76. Setelah diketahui nilai tersebut, maka dilkukan analisis,
kemudian dinyatakan dengan grafik batang.Kemudian skor yang diperoleh
dikonversikan ke dalam nilai dengan kriteria seperti
pada Tabel 3.10 berikut ini.
Tabel 3.10. Kriteria Penilaian Ranah Kognitif
Nilai angka
|
Nilai huruf
|
Keterangan
|
A
B
C
D
E
|
80-100
65-79
50-64
35-49
1-34
|
Sangat Baik
Baik
Cukup
Kurang
Sangat kurang
|
Sumber:
Riduan (2010)
b.
Hasil belajar afektif
Analisis
hasil belajar siswa pada ranah afektif dapat dilakukan dengan menggunakan
persamaan matematis untuk memperoleh data yang diperoleh.
Selanjutnya
nilai afektif siswa tersebut dikonversikan ke dalam nilai dengan kriteria
seperti pada Tabel 3.11 berikut ini.
Tabel 3.11. Kriteria Penilaian Ranah Afektif
Nilai angka
|
Nilai huruf
|
Keterangan
|
A
B
C
D
E
|
80-100
65-79
50-64
35-49
1-34
|
Sangat Baik
Baik
Cukup
Kurang
Sangat kurang
|
Sumber:
Riduan (2010)
Setelah
diketahui nilai tersebut, maka dilakukan analisis,
kemudian dinyatakan dengan grafik batang.
c.
Hasil belajar psikomotorik
Analisis
hasil belajar psikomotorik dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan
matematis untuk memperoleh data yang diperoleh.
Selanjutnya
nilai psikomotork siswa tersebut dikonversikan ke dalam nilai dengan kriteria
seperti pada Tabel 3.12 berikut.
Tabel 3.12. Kriteria Penilaian Ranah Psikomotor
Nilai angka
|
Nilai huruf
|
Keterangan
|
A
B
C
D
E
|
80-100
65-79
50-64
35-49
1-34
|
Sangat Baik
Baik
Cukup
Kurang
Sangat kurang
|
Sumber:
Riduan (2010)
Setelah diketahui nilai tersebut, maka dilakukan
analisis, kemudian dinyatakan dengan grafik batang.
2. Analisis Perbedaan Hasil Belajar Siswa
Aspek penilaian hasil belajar yang diperoleh
dari nilai post-test, nilai lembar pengamatan sikap, dan nilai tes kinerja pada
akhir pembelajaran. Data tersebut digunakan untuk membandingkan antara dua keadaan penelitian untuk kelas Model
Pembelajaran Langsung (MPL) dan model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI).
Untuk menganalisis hasil belajar tersebut peneliti menggunakan beberapa uji,
antara lain:
a.
Uji
normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sampel
yang berasal dari populasi berdistribusi normal atau tidak. Dalam penelitian
ini yang diuji normalitas adalah hasil belajar siswa pada kelas MPL maupun TAI
menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov dengan SPSS 16.0. Langkah-langkah untuk melakukan Uji Kolmogorov-Smirnov
adalah sebagai berikut:
1) Menentukan hipotesis
H0:
sampel berdistribusi normal
H1:
sampel berdistribusi tidak normal
2) Menentukan taraf signifikan (α = 0,05)
3) Menentukan daftar distribusi frekuensi untuk setiap
kelompok data, dengan perhitungan yang dilakukan adalah:
1)
Mengelompokkan
data menjadi kelas interval
2)
Mencari frekuensi
pada tiap-tiap kelas interval
3)
Menghitung
rata-rata kelas hitung dan simpangan baku
4) Menentukan kelas batas pada tiap-tiap data interval
5) Menentukan besarnya bilangan baku pada tiap kelas
interval dengan rumus:
(Sudjana, 2005: 466)
Keterangan:
Bilangan baku pada tiap kelas interval
Menyatakan nilai ujian
Rata-rata hitung
6) Menentukan
7) Menentukan
8) Menghitung K0 =
dan dipilih nilai K0 terbesar.
9) Kriteria pengujiannya adalah tolak H0 jika
dengan taraf signifikan α = 0,05. Dalam hal
lainnya, H0 diterima.
b.
Uji
homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah varians
sample yang digunakan homogen. Dalam penelitian ini yang diuji homogenitas
adalah hasil belajar siswa pada kelas eksperimen maupun kontrol. Hasil belajar
tersebut meliputi tiga ranah hasil belajar, yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotor. Langkah-langkah untuk melakukan uji homogenitas adalah sebagai
berikut:
1)
Menentukan
hipotesis
H0: varians homogen
H1: varian tidak homogen
2)
Menentukan
taraf signifikan (α = 0,05)
3)
Uji
statistik
(Sudjana, 2005: 303)
4)
Kriteria
pengujian
Tolak H0 jika
sebaliknya terima
H0 jika
c.
Uji statistik
Pada penelitian ini yang akan dibandingkan adalah hasil
belajar siswa pada model pembelajaran langsung dan model pembelajaran kooperatif tipe TAI serta motivasi berprestasi siswa menggunakan anava dua
jalur. Hipotesis statistik yang akan di uji adalah sebagai berikut:
1)
H0:
µA1 = µA2
H1: µA1 ≠ µA2
2)
H0:
µB1 =
µB2
H1: µB1 ≠ µB2
3)
H0:
AxB = 0
H1: AxB ≠ 0
Keterangan:
µA1 : Rerata hasil belajar siswa kelas MPL.
µA2 : Retata hasil belajar siswa kelas TAI.
µB1 : Rerata hasil belajar siswa yang bermotivasi rendah.
µB2 : Rerata hasil belajar siswa yang bermotivasi tinggi.
AxB : Interaksi antara model pembelajaran dan motivasi
berprestasi
Apabila terdapat perbedaan maka dilakukan uji lanjut,
untuk mengetahui lebih lanjut perbedaan yang terjadi antar kelompok maka
digunakan post hoc test dengan
menggunakan salah satu fungsi scheffe
test. Pada data yang sudah diperoleh akan dilakukan uji post hoc dengan menggunakan bantuan SPSS
16.0
Menurut Sirkin (2006: 341) ada sejumlah tes yang dikenal
sebagai uji post hoc perbandingan ganda, yang mengontrol tingkat alpha dan
memungkinkan untuk mempersempit kesimpulan tentang ketidaksetaraan populasi.
Tes tersebut adalah tes Scheffe. Ada
prosedur uji test lain yang memiliki pengendalian lebih kuat, tetapi mengapa
memakai Uji Scheffe ini karena uji
ini memiliki fleksibilitas dan kekuatan. Uji Scheffe ini dapat diterapkan bahkan ketika kelompok yang dibandingkan
memiliki ukuran (n) yang berbeda. Uji Scheffe adalah sebuah tes yang menemukan perbedaan kritis antara dua sampel yang diperlukan untuk menolak hipotesis nol (H0) yang berarti kedua sampel sama. Untuk dua kategori yang
diuji menggunakan rumus Scheffe sebagai berikut:
(Murwani,
2007: 70)
Hipotesis
yang diukur:
1.
H0
:
H1 :
2.
H0
:
H1 :
3.
H0
:
H1 :
4.
H0
:
H1 :
5.
H0
:
H1 :
6.
H0
:
H1 :
Kriteria pengujian:
Tolak H0 jika
DAFTAR PUSTAKA
Aedy, H. H.
2009. Karya agung sang guru sejati.
Bandung: Alfabeta.
Afiifuddin, Nur. 2008. Perbedaan Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Dan Group Investigation (GI) Terhadap Prestasi Belajar Biologi Ditinjau dari
Motivasi Berprestasi Siswa.Tesis. Tidak diterbitkan. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Arif, Faizal. 2012. Perbedaan Hasil Belajar Menggunakan Model Pembelajaran Inkuiri Dengan Model
Pembelajaran Konvensional Pada Standar Kompetensi Memahami Sifat Dasar Sinyal
Audio di SMK Negeri 2 Surabaya. Surabaya: Fakultas Teknik
Unesa.
Arikunto,
Suharsimi. 2001.
Dasar-dasar
evaluasi pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto,
Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Aunurrahman. 2009. Belajar dan
Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Dantes, Nyoman. 2012. Metodologi
Penelitian. Andi. Yogyakarta.
Dimyati
dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : PT Asdi
Mahasatya.
Djamarah,
S. B. & Zain, A. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
Farikah, Umi. 2011. Pengaruh
Model Pembelajaran Kooperatif tipe TAI (Team Assisted Individualization) dengan
medi LKS Terhadap Prestasi belajar Matematika pada Materi Faktorisasi Suku
Aljabar Siswa Kelas VIII Semester 1 SMP Negeri 2 Gajah Kabupaten Demak tahun
Pelajaran 2010/2011. Skripsi. Tidak Diterbitkan. IKIP PGRI Semarang.
Fathurrahman,
P. & Sutikno, S. 2007. Strategi Belajar Mengajar; Melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep
Islami. Bandung: PT. Refika Aditama.
Gunarsa,
Singgih, D. 2008. Psikologi Olahraga
Prestasi. Jakarta: Gunung Mulia
Hafid, M. 2012. Perbedaan
Hasil Belajar Siswa Kelas XI TITL SMK Negeri 7 Surabaya Menggunakan Model Pembelajaran
Kooperatif dengan Metode Team Assisted Individualuzation dan Model Pembelajaran
Langsung.Skripsi. Tidak diterbitkan. Universitas Negeri Surabaya.
Thursan, Hakim. 2008.
Belajar secara efektif. Jakarta: Puspa Swara.
Hapsari, Sri. 2005.
Bimbingan dan konseling SMA kelas XI. Jakarta: Grafindo.
Hasan, Bachtiar.
2006. Perencanaan Pengajaran Bidang Studi. Bandung:Pustaka Ramadhan.
Kardi dan Nur.
2005.
Pengajaran
Langsung.
Surabaya: Unesa
University Press.
Lie,
Amalia.2002. Cooperative Learning (
Mempraktikan Cooperative Learning di. Ruang-Ruang Kelas). Jakarta: Gramedia.
Purwanto, M.
Ngalim. 2000. Psikologi Pendidikan. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Ratri, C. M. 2013. Perbedaan
Model Pembelajaran Kooperatif tipe Team Assisted Individualuzation dan Model
Pembelajaran Langsung Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Standar Kompetensi
Merawat Peralatan Rumah Tangga Listrik .Skripsi. Tidak diterbitkan.
Universitas Negeri Surabaya.
Riduan. 2010. Skala Pengukuran
Variabel-variabel Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Rochmad, 2012. Revisi Taksonomi Bloom
(A Revision Of
Bloom’s Taxonomy). http://blog.unnes.ac.id/rochmad/files/2012/05/ROCHMAD-BLOOM-ORI.pdf. Diakses tanggal 03 Desember 2014 Jam 13:21.
Sardiman,
A. M. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Sanjaya,
Wina. 2008. Strategi
Pembelajaran, Berorientasi Standar
Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Santrock,
John W. 2003. Adolescence: Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.
Sirkin, R. Mark. 2006. Statistic For The
Social Sciences. California: Sage Publications, Inc.
Slameto.
2010. Belajar dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Slavin, Robert E. 1995. Cooperative Learning, Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa
Media.
Sudjana,
Nana. (2005). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru:
Algensindo.
Supandi.
2011. Menyiapkan Kesuksesan Anak Anda.
Jakarta: PT Gramediapustaka utama
Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Suprijono,
Agus. 2010. Koopeatif Learning,
Teori & Aplikasi PIKEM.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta : Prestasi Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar